Laman

Jumat, 29 Juli 2011

Mengajari Anak Menghargai Uang



1. Mengenalkan anak pada kegunaan uang

Cara yang menarik untuk memperkenalkan anak pada kegunaan uang adalah dengan cara bermain ‘pasar-pasaran’. Si anak mendapat peran sebagai ‘pembeli’ dan di lain waktu sebagai ‘penjual’.


2. Mengajak anak berbelanja

Perkenalkan proses membeli barang dan ingatkan tentang berhemat agar tidak membeli barang yang tidak dibutuhkan.


3. Katakan bahwa uang harus dicari

Anak usia 2-3 tahun dapat diberi pengertian bahwa orang harus bekerja untuk memperoleh uang.


4. Bersikap tegas

Anak butuh sikap yang konsisten. Terkadang, anak akan terus memaksakan keinginannya agar dapat dipenuhi, menangis, dan merengek. Setiap orang tua yang luluh akan memberi kesan bahwa ‘uang tidak ada artinya’ dan menangis/merengek adalah cara jitu untuk mendapatkan keinginan.

Rabu, 27 Juli 2011

Ucapan Selamat Di Hari Raya




Apa hukum mengucapakan selamat idul fitri? 
Bagaimanakah hukum saling berjabat tangan dan berpelukan setelah shalat ied?

Alhamdulillah, Terdapat riwayat yang datang dari para sahabat radhiyallahu’anhum bahwasanya mereka saling mengucapkan selamat di hari raya dengan ucapan, تقبل الله منا ومنكم Taqabbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan darimu sekalian).

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, “Dahulu para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wasallam mengucapkan ‘Taqabbalallahu minna wa minkum’ ketika saling bertemu di hari Idul Fitri.” Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini, “Sanadnya hasan.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak mengapa hukumnya bila seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat Idul Fitri, ‘Taqobbalallahu minna wa minkum’.” Demikian yang dinukil Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya,

“Apa hukum mengucapkan selamat di hari raya sebagaimana banyak diucapkan oleh orang-orang? Seperti ‘indaka mubarak (semoga engkau memperoleh barakah dihari Idul Fitri) dan ucapan yang senada. Apakah hal ini memiliki dasar hukum syariat ataukah tidak? Jika memiliki dasar hukum syariat bagaimana seharusnya ucapan yang benar?”


Beliau rahimahullah menjawab,

“ Adapun hukum tahniah (ucapan selamat) dihari raya yang diucapkan satu dengan yang lainnya ketika selesai shalat ied seperti

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك

Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu ‘alaik

(Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu),

dan yang semisalnya, telah diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwasanya mereka melakukannya dan para imam memberi keringanan perbuatan ini seperti Imam Ahmad dan yang lainnya. Akan tetapi Imam Ahmda berkata, “Aku tidak akan memulai mengucapkan selamat kepada siapa pun. Namun jika ada orang yang memberi selamat kepadaku akan kujawab. Karena menjawab tahiyyah (penghormatan) adalah wajib.

Adapun memulai mengucapkan selamat kepada oranglain maka bukanlah bagian dari sunnah yang dianjurkan dan bukan pula sesuatu yang dilarang dalam syariat. Barangsiapa yang melakukannya maka ia memiliki qudwah (teladan) dan orang yang meninggalkan pun juga memiliki qudwah (teladan). Wallahu a’lam. (Al-Fatawa Al-Kubra, 2/228)


Syaikh Ibnu Ustaimin ditanya,

“Apa hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya? Apakah ada bentuk ucapan tertentu?”


Beliau rahimahullah menjawab,

“Hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya adalah boleh dan tidak ada bentuk ucapan tertentu yang dikhususkan. Karena (hukum asal-pen) setiap adat kebiasaan yang dilakukan orang itu boleh selama bukan perbuatan dosa.”

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya,

“Apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan saling mengucapkan selamat hari raya ketika selesai shalat ied?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Hukum semua perbuatan ini tidaklah mengapa. Karena orang yang melakukanya tidak bermaksud untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Melainkan hanya sekedar melakukan adat dan tradisi, saling memuliakan dan menghormati. Karena selama adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat maka hukumnya boleh.” (Majmu’Fatawa Ibni Utsaimin, 16/ 208-210)


Sumber: http://www.islamqa.com/ar/cat/2033#6080

Penerjemah: Tim Penerjemah Muslimah.or.id

Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah



Penulis: Ummu ‘Athiyah

Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya.

Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.

Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:

1. Mandi pada hari raya.

Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”


2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.

Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.


3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.

“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari).

Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.


4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.


5. Bertakbir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.


6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)

Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
 

7. Ucapan selamat Hari Raya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.”

Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253).

Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.


8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.

Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
  1. Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  2. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  3. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  4. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  6. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  7. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  8. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  9. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).


Maroji’:
  1. Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari.
  2. Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.
***
Artikel www.muslimah.or.id

Pernak Pernik Seputar Hari Raya



Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar


Hari Raya Kedua?

Tanggal merah di kalender negara kita (Indonesia tercinta) untuk lebaran ‘Idul Fitri biasanya ada dua, yaitu tanggal 1 dan 2 Syawal. Biasanya ini pun terbawa sampai ke pembicaraan secara tak sadar, misalnya. “Aku ke rumah pamanku biasanya hari raya kedua.”


Nah saudariku, tahukah engkau bahwa hari raya umat muslim itu memang ada dua. Tapi bukan seperti di kalender nasional. Hari raya umat muslim adalah tanggal 1 Syawal dan tanggal 10 Dzulhijjah, dan dua hari raya ini adalah pengganti dari dua hari raya yang ada pada masa jahiliyyah (hari raya Nairuz dan Mahrajan) di kota Madinah. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu yang mendengar beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang menjadi ajang permainan kalian pada masa jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fithri.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Shahih)


Mengangkat Tangan Saat Takbir

Shalat ‘Idul Fitri pada rakaat pertama dimulai dengan takbir sebanyak 7 kali dan rakaat kedua sebanyak 5 kali. Tentu biasanya kita mengangkat tangan setiap takbir tersebut.

Tahukah engkau saudariku, ternyata tidak terdapat hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan di setiap takbir tersebut. Yang ada adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Seperti kita ketahui, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah.

Maka, barangsiapa yang berkeyakinan bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan mengangkat tangan kecuali dengan ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia boleh mengangkat tangannya.  Boleh juga bagi kita mengangkat tangan pada saat takbir dengan berlandaskan  dalil umum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan setiap kali  takbir.


Haid Saat Hari Raya?

Biasanya, para wanita sudah mulai menghitung-hitung dari awal Ramadhan, memperkirakan apakah dapat bersuka ria dan bersuka cita pada hari raya karena dapat mengikuti shalat ‘Idul Fithri.

Tahukah engkau saudariku, tidak perlu bersedih hati karena mendapatkan haidh saat hari raya. Karena kegembiraan itu dan kehadiranmu di tempat shalat ‘Id tidak terhalangi dengan hal yang sudah menjadi sunnatullah (ketetapan dari Allah). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahkan memerintahkan seluruh wanita untuk tetap pergi ke tempat shalat ‘Id, sebagaimana diceritakan oleh Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk mengeluarkan gadis-gadis, wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita yang sedang haid (untuk mengikuti shalat ‘Id), tetapi wanita-wanita yang sedang haid tidak boleh masuk tempat shalat.” (HR. Bukhari)


Halal Bi Halal

Acara Halal Bi Halal ini biasanya merupakan ajang pertemuan baik sanak kerabat, teman kantor atau yang lainnya yang maksudnya adalah saling memaafkan segala kesalahan yang telah lalu dari orang-orang yang ditemui pada saat itu.

Tahukah engkau saudariku, bermaaf-maafan tidaklah mesti dikhususkan pada saat hari raya ‘Idul Fithri. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya tidak pernah mengajarkan dan mengkhususkan untuk  bermaaf-maafan saat sebelum dan sesudah puasa. Bahkan pada hari raya ini  sebenarnya merupakan  hari di mana kaum muslimin diberi keleluasaan untuk bersenang-senang dan menghibur diri setelah lelah beribadah, walaupun lebih utama berpaling dari itu.

Sebagaimana dalam hadits yang diceritakan oleh istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika hari raya ‘Idul Adh-ha, terdapat dua orang anak perempuan yang menyanyikan nyanyian orang-orang Anshor ketika terjadi peperangan Bu’ats.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu masuk dan berbaring di atas tempat tidur seraya memalingkan wajahnya. Ayah istri tercinta Rasul dan merupakan orang yang paling dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk dan melihat anak-anak yang sedang bernyanyi itu pun seketika marah dan menghardik,

“Seruling setan ada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam??!!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar itu menghadap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan bersabda, “Biarkan mereka berdua.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Eh… tapi perlu diperhatikan lho, nyanyian di sini bukan nyanyian seperti yang ada sekarang ini. Yang diperbolehkan adalah nyanyian yang isi syairnya mengungkapkan berbagai hal yang menyangkut peperangan, keberanian dan dalam pelantunannya dapat membantu urusan  agama. Dilantunkannya pun hanya boleh dengan rebana dan dinyanyikan oleh anak-anak kecil perempuan. Lihat saja reaksi spontan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika mendengar dan melihat ada dua anak menyanyi seperti itu. Berarti pada dasarnya, hal tersebut  (menyanyi) memang terlarang kecuali yang telah dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pada saat hari raya dan pada saat walimahan.


Bersalam-Salaman

Maksud bersalam-salaman di sini bukan memberi salam “assalamu ‘alaikum”. Tapi bentuk EYD yang lebih tepat adalah berjabat tangan. Ini adalah konsekuensi yang ada jika mengikuti acara Halal Bi Halal, bahkan biasanya sampai ada acara cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri). Yang lebih tidak menyenangkan dan membuat hati gundah gulana adalah jabat tangan itu tidak mesti dilakukan sesama jenis, tetapi juga dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahram.

Tahukah engkau saudariku, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melakukan sesuatu yang sangat penting, yaitu baiat, tidak pernah menyentuh wanita. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan secara keras masalah menyentuh perempuan secara sengaja dalam hadits berikut,

“Sungguh ditancapkannya kepala seseorang dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada dia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (Hadits shahih, HR. Thabrani)


Ziarah Kubur

Menurut pendapat yang paling rajih (kuat), ziarah kubur bagi wanita dibolehkan setelah sebelumnya dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tahukah engkau saudariku,  waktu ziarah kubur ini tidak ditetapkan khusus pada saat sebelum berpuasa atau hanya pada saat ‘Id. Karena faidah yang sebenarnya ingin didapatkan dari seseorang berziarah kubur adalah mengingatkannya akan kematian.

Maka ketika seseorang mengkhususkan waktu-waktu tersebut untuk berziarah dengan keyakinan bahwa itu merupakan bagian dari ibadah (bahkan merasa kurang jika tidak dikerjakan), maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Bahkan dapat membuat celah dibuatnya syariat baru, sehingga orang yang baru belajar Islam akan beranggapan bahwa ziarah kubur semacam itu memang memiliki waktu-waktu seperti yang sering terlihat. Padahal apa yang dilakukan banyak orang, belumlah tentu suatu kebenaran. Kebenaran adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan untuk umat Islam.

Wallahu a’lam 


Maraji’:
  1. Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Berhari Raya

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa




1. Qodho  (Mengganti) Puasa yang Tertunda

Soal:

Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang.  Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:

Wajib bagimu melakukan tiga perkara:

Pertama: Taubat kepada Allah Ta’ala dari kesalahan ini (menunda-nunda qodho’ puasa) serta menyesali perbuatan ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“…Dan bertaubatlah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.”
(QS. an-Nur [24]:31)

Sedangkan menunda kewajiban ini adalah maksiat dan bertaubat kepada Allah Ta’ala adalah wajib.

Kedua: Segera berpuasa sesuai dengan yang diyakini, karena Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Karenanya, yang engkau yakini bahwasannya engkau meninggalkan hari-hari yang menjadi tanggunganmu, itulah yang engkau bayar. Apabila kamu meyakini sepuluh hari, maka hendaklah puasa sepuluh hari, dan jika engkau meyakini bahwasannya itu lebih atau kurang, maka hendaklah engkau berpuasa sesuai dengan keyakinanmu itu.

Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Allah tidak membebani hamba kecuali dengan kesanggupannya…” (Qs. al-Baqarah [2]:286)

dan firman Allah Ta’ala:

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian…”
(Qs. at-Taghabun [64]:6)

 Ketiga: 
Memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya jikalau engkau mampu melakukannya dengan memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Adapun jika engkau tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun bagimu selain puasa dan taubat. Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)


2. Tidak Membayar Puasa  Karena Melahirkan

Soal:

35 tahun yang lalu, saya melahirkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dua tahun berikutnya, saya melahirkan pada bulan Ramadhan juga, dan saya tidak berpuasa melainkan hanya 10 hari. Dan sekarang saya seorang wanita yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:

Apabila engkau telah sembuh, wajib bagimu berpuaswa pada hari yang engkau tinggalkan, baik pada Ramadhan pertama atau yang kedua disertai memberi makan kepada fakir miskin pada setiap harinya (jika engkau memang meremehkan permasalahan membayar puasa ini, padahal engkau mampu).

Adapun kewajiban memberi makan fakir miskin untuk setiap harinya ½ sha’ berupa kurma atau beras dari makanan pokok suatu daerah atau 1½ kg dengan timbangan, dengan memberikannya kepada fakir miskin baik satu ataupun dua orang ataupun keluarga fakir miskin. Itu semua cukup bagimu, disertai dengan berpuasa dan bertaubat.

Adapun jika engkau menunda qodho’ Ramadhan karena sakit tanpa disertai unsur peremehan, maka wajib bagimu membayar puasa yang engkau tinggalkan itu dan tidak ada kewajiban memberi makan fakir miskin dikarenakan engkau mendapatkan udzur syar’i, berdasarkan firman Allah:

“…Barangsiapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh, hendaklah mengganti pada hari-hari yang lain…” (Qs. al-Baqarah [2]:85)


3. Berpuasa Setelah Suci dari Nifas

Soal:

Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?

Jawab:

Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.

Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama. Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.
(Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz)


4. Tidak Mampu Meng-qadha Puasa

Soal:

Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan  yang lalu dan karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:

Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185)

Dan anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang sakit serta bagi orang sedang dalam perjalanan (musafir). Dan Allah Subhananhu wa Ta’ala suka jika rukhshah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.”
(Fatawa ash-Shiyam)


Maraji’:
  1. Majalah Al Furqon Edisi 4 Dzul Qo’dah 1427 H
  2. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun V 1426 H
  3. Majalah Nikah edisi khusus, Volume 3 tahun 2004
  4. Majalah Nikah edisi kusus, Volume 4 no. 7 tahun 2005
***
Dipublikasikan oleh www.muslimah.or.id

Sambel Lado Ijo


Hasil  bertanya dari mbah 'google', mudah2an hasilnya memuaskan.
Saya lbh suka cabenya digetok kasar, bikin cukup banyak, bisa disimpan dlm kulkas.
Kalaupun perlu yg halus, tinggal ambil seperlunya dan haluskan.

Bahan:
20 cabe hijau
1/2 bh bawang merah besar ( kira2 7 bawang merah biasa)
1/4 tomat hijau

Garam, gula, air jeruk.

Cara membuat:

Kukus cabe, bawang dan tomat hingga ckp layu.
Cabe digetok kasar, bawang digetok kasar.
Tomat dihaluskan.
Kemudian tumis semua bahan sampai ckp matang.
Tambahkan garam dan gula.

Bila mau terasa gurih, tambahkan sedikit kaldu powder.
Sebelum diangkat beri sedikit air jeruk, cicipi rasanya. 

Belum Mengqadha Hutang Puasa Hingga Datang Ramadhan Berikutnya









Ramadhan adalah bulan yang paling dirindu kedatangannya oleh seluruh kaum muslimin. Betapa tidak? Pada bulan Ramadhan segala amal ibadah mendapat ganjaran yang berlipat-lipat ganda dan hanya pada bulan Ramadhan sajalah kita dapat menemui malam yang lebih baik dari seribu bulan, yang apabila seseorang melakukan amal shalih karena Allah ta’ala semata pada saat itu, maka pahala yang didapatnya itu lebih baik dari usaha yang dilakukannya selama seribu bulan. Maka sudah sepantasnya, banyak kaum muslimin yang semakin besar semangatnya untuk beramal shalih pada bulan ini.

Kaum wanita pun tidak kalah semangat untuk menabung pahala, akan tetapi kaum wanita memiliki fitrah yang tidak dapat dielakkan, namun memerlukan perhatian khusus. Dan tidak sedikit kaum wanita yang masih bingung ketika dihadapkan dengan masalah-masalah kewanitaan, khususnya pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Berikut beberapa masalah yang sering ditemui oleh wanita berikut solusinya.


Masalah 1:

Wanita Memiliki Utang Puasa, Tetapi Belum Mengqadhanya Hingga Datang Ramadhan Berikutnya

Dalam hal ini, terdapat tiga kemungkinan, yaitu:

Pertama:
Keadaan wanita tersebut tidak memungkinkan untuk segera mengqadha puasanya pada Ramadhan yang lalu hingga datang Ramadhan berikutnya, misal: karena alasan sakit.
Dalam masalah ini, terdapat dua kondisi, yaitu:

Kondisi 1: Apabila wanita tersebut meninggalkan kewajiban puasa dan menunda qadha puasanya karena ketidak mampuannya, maka wajib baginya untuk mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu saat dia telah memiliki kemampuan untuk mengqadhanya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,

“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)

Kondisi 2:

Apabila ketidak mampuan wanita tersebut untuk melaksanakan puasa bersifat permanen, yakni tidak bisa hilang (sembuh) menurut keterangan ahli medis dan dikhawatirkan bahwa puasanya itu akan membahayakan dirinya, maka wanita tersebut harus memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya itu sebanyak setengah sha’ (sekitar 1,5 kg) makanan pokok di daerahnya.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Qs. Al-Baqarah: 184)

Ketentuan ini juga berlaku bagi wanita yang meninggal karena sakit, sementara dirinya masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Maka keluarganya hanya diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebanyak hari yang ditinggalkan oleh wanita tersebut. [Lihat penjelasan Ibnu Qayyim dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin (III/554) dan tambahan keterangannya di Tahdziibus Sunnan Abi Dawud (III/279-282)]


Kedua
Wanita tersebut dengan sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengqadha utang puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya.

Dalam masalah kedua ini, wanita tersebut harus bertaubat kepada Allah ta’ala dikarenakan kelalaiannya atas suatu ketetapan Allah. Selain itu, dia juga harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Karena menunda-nunda pelaksanaan qadha tanpa ada udzur syar’i adalah suatu maksiat, maka bertaubat kepada Allah merupakan suatu kewajiban. Kemudian, wanita tersebut harus segera mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berikutnya. Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Qs. Ali ‘Imran: 133)


Ketiga
Wanita tersebut tidak mengetahui kewajiban melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena minimnya ilmu agama, dan atau tidak mengetahui secara pasti jumlah hari yang ditinggalkannya selama bulan Ramadhan yang lalu.

Dalam masalah ketiga, seorang wanita dinyatakan mukallaf (terkena beban ketentuan syari’at) dengan beberapa syarat, yaitu: (1) beragama Islam, (2) berakal, (3) telah baligh. Dan balighnya seorang wanita ditandai dengan datangnya haidh, tumbuhnya bulu di daerah sekitar kemaluan, keluarnya mani, atau telah memasuki usia 15 tahun. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka kewajiban untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan telah jatuh kepadanya, dan dia juga berkewajiban untuk melaksanakan qadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya.

Namun, apabila wanita tersebut tidak mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at -bukan karena dia tidak ingin atau malas mencari tahu, akan tetapi karena sebab lain yang sifatnya alami, misal karena dia tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari para ahli ilmu- maka tidak ada dosa baginya meninggalkan puasa pada tahun-tahun dimana dia masih dalam keadaan jahil (tidak tahu) terhadap ketentuan syari’at. Kemudian, apabila dia telah mengetahuinya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan hendaknya dia mengqadha puasa yang ditinggalkannya sewaktu dia masih dalam keadaan tidak tahu, agar dapat terlepas dari dosanya.
[Lihat Fataawa Nur 'ala ad-Darb, Syaikh Utsaimin, hal. 65-66 dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/227-228)]


Adapun apabila wanita tersebut ragu akan jumlah hari yang ditinggalkannya, maka dia dapat memperkirakannya, karena Allah ta’ala tidak membebani seseorang diluar kesanggupannya. Allah berfirman yang artinya,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Dan firman Allah yang artinya,

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghaabun: 16)


Catatan:
Mengqadha puasa tidak wajib dilakukan secara berturut-turut dan tidak mengapa apabila seorang wanita tidak langsung mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berakhir. Namun, hendaklah dia melakukannya apabila tidak ada udzur yang menghalanginya. Wallahu a’lam.


***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murajaa: Ust Muhammad Abduh Tausikal

Maraji’:
  • Al-Adzkar an-Nawawi, Imam an-Nawawi; takhrij, tahqiq dan ta’liq oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin, cet. Daar Ibn Khuzaimah
  • Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif
  • Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Tamamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daar ar-Raayah
  • Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Darul Qolam

Sikap Ramah dan Lemah Lembut



Allah ta’ala mensifati nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau adalah orang yang berakhlak mulia.

Allah ta’ala berfirman

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al Qalam: 4)

Allah mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat lemah lembut dan penyayang.

Allah ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(Qs. Ali Imran: 159)


Allah juga mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat pengasih dan penyayang kepada kaum mukminin. Allah ta’ala berfirman

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٢٨)

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. At Taubah)


Dan Rasulullah memerintahkan dan menghasung untuk bersikap lemah lembut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Mudahkanlah dan jangan mempersulit, sampaikan kabar gembira dan jangan menakut-nakuti.”

(HR. Bukhari & Muslim)


Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz “Sampaikanlah kabar gembira, jangan menakut-nakuti. Dan permudahlah jangan mempersulit.”

Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat mengenai seorang Arab Badui yang kencing di dalam masjid,

“Biarkan dia menyelesaikan kencinynya, kemudian tuangkanlah setimba air di tempat yang dikencinginya, atau siramlah dengan seember air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan untuk mempersulit.”

Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai Aisyah sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.”

Sedang Imam Muslim meriwayatkan dengan lafadz

“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dan Dia memberi pada kelembutan itu sesuatu yang tidak diberikan Nya pada sikap kasar, dan apa yang tidak diberikan Nya pada yang lainnya.”


Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya, dan tidaklah kelemah lembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan, dari Jarir bin Adillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang terhalangi dari bersikap lemah lembut, maka dia telah terhalang dari seluruh bentuk kebaikan.”


Allah juga memerintahkan kepada dua orang Nabi dan rasul yang mulia, Musa dan Harun agar mereka mendakwahi Fir’aun dengan lemah lembut. Allah berfirman,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (٤٣)فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)


Allah juga mensifati para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia bahwa mereka adalah orang yang selalu berkasih saying sesama mereka. Allah ta’ala berfirman,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesame mereka.” (QS. Al Fath: 29)


***
artikel muslimah.or.id
Rifqan Ahlassunnah bi Ahlissunnah karya Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
(Diambil dari Edisi Terjemah: Nasihat Salaf Untuk Salafi)

Senin, 25 Juli 2011

Mencari Orang yang Jujur itu Sulit




Mencari orang yang jujur di zaman ini amatlah sulit. Sampai pun ia rajin shalat, jidadnya terlihat rajin sujud (karena saking hitamnya), belum tentu bisa memegang amanat dengan baik. Ada cerita yang kami saksikan di desa kami.

Seorang takmir masjid yang kalau secara lahiriyah nampak alim, juga rajin menghidupkan masjid. Namun belangnya suatu saat ketahuan. Ketika warga miskin mendapat jatah zakat dan disalurkan lewat dirinya, memang betul amplop zakat sampai ke tangan si miskin. Tetapi di balik itu setelah penyerahan, ia berkata pada warga, "Amplopnya silakan buka di rumah (isinya 100.000 per amplop). Namun kembalikan untuk saya 20.000." Artinya, setiap amplop yang diserahkan asalnya 100.000, namun dipotong sehingga tiap orang hanya mendapatkan zakat 80.000. Padahal dari segi penampilan tidak ada yang menyangka dia adalah orang yang suka korupsi seperti itu. Tetapi syukurlah, Allah menampakkan belangnya sehingga kita jadi tahu tidak selamanya orang yang mengurus masjid itu termasuk orang-orang yang jujur.


Perintah untuk Berlaku Jujur

Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119).

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)


Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Muslim no. 2607)


Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih).

Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Basyr Al Haafi berkata,

من عامل الله بالصدق، استوحش من الناس

"Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya." (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, 351)
Karena memang jujur itu begitu asing saat ini, sehingga orang yang jujur dianggap aneh.


Perintah untuk Menjaga Amanat

Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya" (QS. An Nisa': 58)


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ

"Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu."
(HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)


Khianat ketika diberi amanat adalah di antara tanda munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

"Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat." (HR. Bukhari no. 33)


Jadi, jika dititipi amanat, jagalah amanat tersebut itu dengan baik. Jangan sampai dikorupsi, jangan sampai dikurangi dan masuk kantong sendiri. Ingatlah ancaman dalam dalil di atas sebagaimana dikata munafik.


Kunci Utama

Kunci utama agar kita menjaga amanat ketika dititipi uang misalnya, sehingga tidak dikorupsi atau dikurangi adalah dengan memahami takdir ilahi. Ingatlah bahwa setiap orang telah ditetapkan rizkinya. Allah tetapkan rizki tersebut dengan adil, ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah tetapkan ada yang berkelebihan harta dari lainnya, itu semua dengan kehendak Allah karena Dia tahu manakah yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga kita hendaklah mensyukuri apa yang Allah beri walaupun itu sedikit.

اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ

Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)


Allah Ta'ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
(QS. Asy Syuraa: 27)


Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278)


Jika setiap orang memahami hal di atas, maka sungguh ia tidak akan korupsi, tidak akan menipu dan lari dari amanat. Realita yang kami saksikan sendiri menunjukkan bahwa mencari orang yang jujur itu amat sulit di zaman ini. Kita butuh menyeleksi dengan baik jika memberi amanat pada orang lain. Hanya dengan modal iman dan takwa-lah serta merasa takut pada Allah, kita bisa memiliki sifat jujur dan amanat.



Moga Allah Memberi Akhlak Mulia
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa
Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].”
(HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Wallahu waliyyut taufiq.

Diselesaikan di Warak, Desa Girisekar, Panggang-Gunung Kidul setelah shalat Shubuh
22 Sya'ban 1432 H, 24/07/2011

www.rumaysho.com

Sabtu, 23 Juli 2011

Inilah Syarat Kalimat Tauhid-mu ( Part 2 )



Ketiga, Ikhlas. Lawannya adalah syirik

Allah berfirman:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِص

Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)


Allah juga berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

أسعد الناس بشفاعتي من قال لاإله إلا الله خالصاً من قلبه -أو من نفسه –

Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang-orang yang mengatakan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan ikhlas dari dalam lubuk hatinya (atau dirinya).” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain, dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله عز وجل

Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang mengucapkan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dengan mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. (HR. Bukhari dan Muslim).


Ikhlas adalah mencintai Allah, mengesakanNya dan membersihkan seluruh ibadah kepada-Nya dari semua unsur kemusyrikan. Karena Allah adalah satu-satunya sesembahan yang paling berhak untuk diibadahi dan tidak ada sekutu bagi-Nya.


Keempat, shidq (membenarkan). Lawannya adalah sikap mendustakan .

Seorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid, maka orang tersebut harus membenarkannya di dalam hatinya, di mana hatinya selalu sejalan dengan lisannya. Tidaklah cukup bagi kita mengucapkan kalimat لا اله الا الله saja, namun ucapan ini juga harus dibarengi dengan adanya pembenaran di dalam hati. Adapun orang yang hanya menampakkan lahirnya saja dengan mengucapkan kalimat tersebut, akan tetapi dia tidak membenarkan dalam hatinya, maka dia adalah seorang munafik.

Allah ta’ala berfirman:

الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)

Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka membiarkan (saja) mengatakan,’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji. Dan seseungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 1-3).

Allah juga berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

Di antara manusia ada orang-orang yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, namun mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka telah berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).

Dalam hadis, dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، صادقاً من قلبه ، إلا حرمه الله على النار

Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan sebenar-benarnya di dalam hati, melainkan Allah mengharamkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Kelima, mahabbah, yaitu mencintai kalimat ini serta makna yang terkandung di dalamnya dan merasa bahagia dengannya.

Rasa cinta terhadap kalimat ini telah meniadakan rasa benci. Bahkan cinta merupakan salah satu unsur pokok dalam ibadah di samping rasa takut dan harap.
Cinta sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu cinta yang wajib dan cinta yang sunnah (dianjurkan).
Cinta yang wajib adalah keadaan di mana seseorang tidaklah dinilai sebagai seorang muslim kecuali dengan mewujudkannya. Cinta ini adalah cinta kepada Allah. Cinta ini mewajibkan seseorang untuk melaksanakan apa-apa yang diwajibkan kepadanya, dan meninggalkan semua yang diharamkan baginya.

Ada ulama –rahimahullah- yang menulis nasehat :

تَعْصِي الْإِلَهَ وَ اَنْتَ تَزْعُمٌ حٌبَّهُ
هَذَا لَعَمْرِي فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقَاَ لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

Engkau durhaka kepada Allah, sementara engkau mengaku mencintai-Nya
Demi Allah, sesungguhnya dalam analogi itu terdapat sesuatu yang buruk
Seandainya cintamu itu benar, pasti engkau akan menaati-Nya
Karena sesungguhnya orang yang mencintai akan selalu menaati Dzat yang dicintainya.

Adapun cinta yang sunnah adalah cinta yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang disunnahkan.

Mengenai mahabbah ini, Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah, mereka mencintai sesembahan-sesembahan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165).

Allah juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah: 54)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه كما يكره أن يقذف في النار

Ada tiga perkara yang jika itu semua terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, dia mencintai seseorang yang dia mencintainya hanya karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Keenam, tunduk. 

Maksudnya adalah tunduk terhadap konsekwensi kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . Bentuknya adalah melaksanakan amalan yang wajib, ikhlas karena Allah dan untuk tujuan mencari ridha Allah. Lawan sikap tunduk adalah al-i’radh (cuek). Artinya, sama sekali tidak mau melaksanakan konsekwensi kalimat tauhid tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَه

Dan kembalilah kalian kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya. (QS. Az-Zumar: 54)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’: 125)

Allah juga berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)

Allah juga berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65)


Ketujuh, al-Qabul (menerima)

Artinya, menerima dengan sepenuh hati setiap konsekwensi kalimat tauhid. Lawan dari sikap menerima adalah menolak.

Seorang muslim yang mengaku dirinya beriman sudah seharusnya menerima kalimat ini dengan hati dan lisannya. Maka barangsiapa yang tidak mau menerima kalimat ini, menolaknya, bahkan menyombongkan diri darinya, maka dia telah kafir. Karena sikap menolak kalimat tauhid ini, serupa dengan yang terjadi di kalangan kaum kafir Quraisy di mana mereka melawan dan bersikap sombong serta tidak mau menerima kalimat tauhid tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)

Dan demikianlah, kami tidaklah mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ’Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata,’Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapatkan dari (agama) yang dianut bapak-bapak kalian. Mereka menjawab,’Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka kami binasakan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az-Zukhruf: 23-25).


Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36)

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka ‘ (tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah)’, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ’Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan karena seorang penyair gila?’ ” (QS. Ash-Shaffat: 35-36).

Dalam hadis, dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

مثل ما بعثني الله به من الهدى والعلم كمثل الغيث الكثير أصاب أرضاً ، فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب الكثير ، وكانت منها أجادب أمسكت الماء فنفع الله به الناس فشربوا وسقوا وزرعوا ، أصاب منها طائفة أخرى إنما هي قيعان لا تمسك الماء ولا تنبت كلأ ، فذلك مثل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم وعلّم ، ومثل من لم يرفع بذلك راساً ولم يقبل هدى الله الذي أرسلت به

Permisalan petunjuk yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan lebat yang jatuh ke bumi. Sebagian bumi ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air dan menumbuhkan rerumputan yang banyak. Sebagian lagi ada tanah yang keras namun bisa menahan air, sehingga Allah bisa menjadikannya bermanfaat bagi manusia untuk minum, memberi minum (ternak) dan bercocok tanam. Sebagian air hujan tersebut juga mengenai gersang, yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Demikianlah permisalan bagi orang yang paham tentang agama Islam. Allah memberikan kemanfaatan padanya dengan ajaran yang ku-bawa dari-Nya. Dia belajar dan mengajar. Dan permisalan bagi orang yang tidak peduli dengan ilmu dan petunjuk. Dia tidak mau menerima petunjuk Allah yang ku-bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim).



***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Aufa Nunung Wulandari
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Maraji’:
  • Al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, Media Hidayah.
  • Jami’ Ahkamis Shalat, Maktabah Syamilah.
  • Mulakhos Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Darul ‘Ashimah.
  • Penjelasan Hal-Hal yang Wajib Diketahui oleh Setiap Muslim dan Muslimah, Ibrahim bin As-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i.
  • Tanbihat Mukhtashoroh, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad Al-Khuraisyi, Darus Shomi’i.
  •  

Jumat, 22 Juli 2011

Selalu Bersyukur ...





Hari ini sebelum kita mengatakan kata-kata yang tidak baik,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berkata-kata sama sekali.

Sebelum kita mengeluh tentang rasa dari makanan,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,
Fikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

Sebelum kita mengeluh bahawa kita buruk,
Fikirkan tentang seseorang yang berada pada keadaan yang terburuk di dalam hidupnya.

Sebelum mengeluh tentang suami atau isteri kita,
Fikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Allah untuk diberikan teman hidup.

Hari ini sebelum kita mengeluh tentang hidup,
Fikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.

Sebelum kita mengeluh tentang anak-anak kita,
Fikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.

Sebelum kita mengeluh tentang rumah yang kotor karena pembantu tidak mengerjakan tugasnya,
Fikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan.

Dan di saat kita letih dan mengeluh tentang pekerjaan,
Fikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti kita.

Sebelum kita menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.

Dan ketika kita sedang bersedih dan hidup dalam kesusahan,
Tersenyum dan berterima kasihlah kepada Allah bahwa kita masih hidup !

Engkau bagai mutiara



Bismillah

Apa kabar ,masihkah ia disana merunduk malu,apa kabar iman masihkah hari ini ia tetap tegar disana,dan apa kabar saudara dan saudariku semua.semoga Allah `azza wa jalla masih tetap meneguhkah kita di atas jalan yg lurus ,jalan nya pendahulu-pendahulu kita yang Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah `azza wa jalla.

Wahai,,,,saudariku engkau laksana bunga yang begitu indah dan begitu harum,maka janganlah engkau membiarkan kumbang-kumbang itu menikmati harum dan keindahan mu dengan mudah.

Wahai,,,,,ukhty yang kucintai karena Allah engkau laksana mutiara,maka jadilah mutiara yang kemilaunya akan menyilaukan mata yang memandangnya,jadilah mutiara di tengah lautan yang paling dalam yang tidak akan mudah orang mengambildirimu.maka saudariku hiasilah dirimu dengan keimanan dan ketaqwaan.karena keimanan dan ketaqwaan ibarat duri yang akan melindungi bunga dari jangakau orang yag akan memetik nya,dan keimanan dan ketaqwaan ibarat kerak yg keras bagi mutiara ditengah lautan agar tidak mudah terbawa ombak yang tiba-tiba datang menggulung.
Wahai,,,ukhty,,,,
Aku cemburu bila ada orang memandangmu dengan tatapan yang .
penuh hasrat karena lekuk tubuhmu yang sengaja engkau umbar.
Duhaiiii ukhty ,,,,,,,,
Aku cemburu bila engkau keluar rumah dengan bau parfummu yang begitu menyengat menggoda hidung orang yang tidak halal bagimu untuk mencium nya,

Duhaiii ukhty,,,,,,,,,
Aku cemburu bila engkau dengan tanpa bersalah keluar bersama laki-laki yang bukan mahrammu,dan engkau bercanda dengan nya
Duhai ukhty aku begitu cemburu dengan semua itu,aku yang sebagai insan yang penuh dengan kelemahan ini merasakan kecemburuan itu apalagi Allah `azza wa jalla .
Ukhty ,,pernahkah engkau membaca atau mendengar kisah seorang sahabat Nabi sholallahu `alaihi wasalam yang hampir membunuh istri gara-gara istri keluar dari pintu rumahnya tanpa izin nya.tapi saat ini apa yang terjadi ,saudariku engkau begitu senang keluar rumahmu tanpa adanya keperluan .

Saudariku,aku tau engkau mampu membeli parfum bermerk dengan harga yang mahal,tapi tidakkah engkau ingat saudariku bahwa wanita yang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian dan tercium oleh orang yang dijalanan sama saja berzina,dan bahkan Nabi sholallahu `alahi wasalam melarang wanita yang memakai parfum shalat berjama`ah di masjid Beliau sholallohu `alaihi wasalam.


Ukhty mungkin engkau bangga bisa keluar dengan laki-laki yang itu bukan apa-apamu,tapi ukhty tidakkah engkau ingat sabad Rosulullah shalallahu `alaihi wasalam ,bahwa apabila seorang wanita dan laki-laki berdua-duaan maka yang ketiganya syaitan.


Duhai ukhty dimanaka rasa ghirah(malu) kita.dimanakah letak keimanan yang engkau elu-elukan,dimanakah letak ketakwaan yang engkau banggakan.
Tidakkah kita ingat saudariku bahwa Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)


Duhai saudariku,disini harapan itu terucap jadilah engkau bunga seindah bunga kaktus yang di kelilingi duri –duri iman dan ketaqwaan sehingga tiadalah mudah untuk di petik.

Biarkan bunga itu indah disana sampai tiba waktunya ada tangan-tangan yang berhaq untuk memitik dan menjaga pohon nya.

Duhai ukhty jadilah bunga yang menyebarkan aroma wangi dengan ilmu dan kesolehanmu.
Ibarat mawar cantik penuh duri,kita memiliki sifat yang bisa membahayakan , sehingga jaga baik-baik kecantikan yang telah di anugerahkan Allah kepadamu,
tak perlu pula kagum,terhadap fisik kita,hingga tinggal ujub,bangga dan takjub pada diri sendiri. hilangkanlah perasaan itu,hindarkan agar duri tak menusuk keindahan bunga kita dan mengoyak kelopaknya,,
tak perlu ...kecantikanmu engkau jadikan modal untuk menarik simpati lawan jenismu, jangan lah berbangga ketika banyak laki-laki yang menggodamu lantaran terpikat pesona kecantikan, kerna semua itu tidak lain adalah awal petaka bagimu,
inilah yang sering disebut , menebar pesona ,menuai petaka,
Na'udzubillah tsumma na'udzubillah.
" tak perlu secantik mawar, cukup seharum melati"
just be a hidden pearl, yeah...a hidden pearl , a hidden pearl ,in the deepest ocean
.
Semoga kutipan ini bisa mnjadikan manfaat bagi diri ana sendiri khususnya dan saudariku semua umumnya,bila ada kesalahan mohon di betulkan ya saudariku
Wallohu ta'ala a'lam
http://aqeedahsaleemah.multiply.com/journal/item/80

Inilah Syarat Kalimat Tauhidmu (1)










Saudariku…

Menjadi insan yang bertauhid adalah dambaan bagi setiap hamba yang beriman. Karena senantiasa berada di atas kalimat tauhid adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Karena tauhid merupakan kunci penyelamat kehidupan seorang hamba di dunia menuju alam akhirat. Di dunia dia bahagia karena terlepas dari penghambaan diri kepada selain Allah, dan di akhirat dia bahagia karena berhak untuk mendapatkan surga.

Sebagaimana hadits dari ‘Ubadah Ibnu Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwasannya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasannya ‘Isa adalah hamba dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan (dia juga bersaksi) bahwa surga itu benar adanya dan neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga berapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan menjelaskan bahwa “dimasukkan surga berapapun amal yang telah diperbuatnya” memiliki dua makna:

1Allah memasukkannya ke dalam surga, meski dia seorang yang lalai dan memiliki dosa (selain syirik), karena sesungguhnya seorang yang bertauhid harus dimasukkan ke dalam surga.

2Allah memasukkannya ke dalam surga dan kedudukannya tergantung amal yang telah diperbuatnya.
Namun sudah tahukah kita bahwa kalimat tauhid (لا اله الا الله ) yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian kita ternyata memiliki syarat yang harus kita penuhi. Apa sajakah syarat itu? Marilah sejenak kita lanjutkan risalah ini.


Apakah maksud kata: Syarat

Syarat (اَلشَرْطُ ) secara bahasa artinya tanda atau alamat.
Secara istilah, makna syarat adalah sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum, namun adanya tidak mengharuskan pasti adanya hukum.
Contoh:
Hadits dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا صلاة لمن لا وضوء له
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak punya wudlu.”


Dalil di atas menegaskan bahwa seseorang tidak berwudlu (bersuci), maka shalatnya tidak sah. Karena orang tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya shalat yaitu berwudlu (bersuci). Hal ini menjelaskan pengertian pertama dari syarat, “sesuatu yang apabila tidak ada menjadikan tidak adanya hukum”. Adapun penjelasan pengertian kedua, “adanya sesuatu tidak mengharuskan pasti adanya hukum”, yaitu jika seseorang berwudlu, maka wudlunya tersebut tidaklah memastikan/mengharuskan dirinya hendak mengerjakan shalat. Boleh jadi dia berwudlu karena ada hajat lainnya, misalnya amalan sunnah yang dilakukan sebelum tidur, hendak mandi wajib, dan lain sebagainya.


Darimana asal usul syarat لا اله الا الله?

Sebelum kita membahas syarat-syarat apa saja yang harus kita dipenuhi, mungkin kita bertanya-tanya, darimana asal-usul adanya syarat kalimat لا اله الا الله? Adakah dalil yang secara tegas menjelaskan hal tersebut?


Saudariku,… memang tidak ada dalil ‘saklek’ yang menjelaskan tentang syarat لا اله الا الله, namun para ulama telah mengumpulkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang adanya syarat-syarat tersebut. Sebagaimana mereka juga mengumpulkan syarat-syarat dan rukun-rukun dari ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, dll. Dengan demikian, hal ini lebih memudahkan kaum muslimin dalam memahami dan mengamalkannya.


Mengapa kita harus melaksanakan syarat-syarat itu?

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, kalimat لا اله الا الله yang seringkali kita ucapkan dalam shalat dan dzikir keseharian memiliki syarat yang harus dipenuhi. Jika salah satu di antara syarat-syarat tersebut tidak kita penuhi, maka akan menjadikan kalimat tersebut tidak sah atau tidak diterima.


Saudariku…

Banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui syarat-syarat ini. Hingga akhirnya merekapun dengan begitu ringannya mengucapkan kalimat لا اله الا الله , tanpa mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Mereka mengucapkannya, namun mereka tidak meyakini di dalam hati serta tidak mengamalkan syarat-syarat tersebut karena ketidaktahuan mereka. Sehingga hal ini adalah sesuatu yang sia-sia.

Adapun orang-orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka begitu memahami makna dan hakikat kalimat tersebut dalam bahasa Arab, sehingga mereka tidaklah mau menerima kalimat ini meski hanya mengucapkan saja. Karena mengucapkan kalimat tersebut memiliki resiko dan konsekwensi yang sangat besar yakni mereka harus meninggalkan segala sesembahan lainnya, yang mereka sembah selain Allah.

أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5).


Orang-orang kafir tersebut mengetahui makna kalimat tauhid secara sempurna namun mereka tidak mau memenuhi seruannya, sedangkan kaum muslimin zaman sekarang berbondong-bondong mengucapkan kalimat tauhid, namun banyak dari mereka masih terjerumus dalam kemusyrikan karena ketidaktahuan mereka dengan makna kalimat tersebut. Kita berlindung pada Allah dari hal ini.


Inilah syarat-syarat kalimat  لا اله الا الله

Saudariku..

Inilah syarat kalimat tauhid yang harus kita pahami. Perhatikanlah, agar kita diberikan kemudahan oleh Allah untuk melaksanakan 7 syarat berikut ini:

Pertama, Ilmu, yaitu memahami makna kalimat tersebut, baik dari sisi penafian (peniadaan) maupun dari sisi penetapan.
Dengan mengilmui, kita telah berusaha menghilangkan kebodohan kita terhadap makna kalimat ini. Adapun makna dari kalimat لا اله الا اللهadalah لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ اللهُ :
Tidak ada sesembahan yang haq (diibadahi dengan benar) selain Allah.
Dua hal yang harus kita ketahui dari kalimat ini adalah:
  1. نَفْيُُ (Penafian). Sisi penafian ditunjukkan oleh kalimat لَا اِلَهَ: Artinya, kalimat ini meniadakan semua bentuk sesembahan.
  2. اِثْبَاتُ ُ (Penetapan). Sisi penetapan ditunjukkan pada kalimat اِلَّا اللهُ : Artinya kalimat ini menetapkan bahwa satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi hanyalah Allah.
Perlu diingat, bahwa kedua hal ini harus berjalan bersamaan. Karena tidaklah dinamakan bertauhid ketika hanya menafikan adanya tuhan, atau sebaliknya hanya menetapkan bahwa Allah adalah sesembahan, tanpa diiringi pengingkaran terhadap sesembahan selain Allah.

Dalil wajibnya memahami makna kalimat ini adalah firman Allah ta’ala :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) yang haq selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)

Dari Utsman radhiyallahu ‘anhu, Dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة

“Barangsiapa yang meninggal dunia sedang dia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)


Kedua, yakin, yaitu mengetahui secara sempurna kalimat tersebut. Lawan yakin adalah keragu-raguan (syak).

Yakin merupakan kekuatan dan kesempurnaan ilmu. Seorang yang mengatakan kalimat haruslah benar-benar meyakini pengertian dan kandungan kalimat tersebut tanpa adanya keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Karena iman itu butuh keyakinan, tidak cukup dengan prasangka.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (15)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)


Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله ، لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيهما إلا دخل الجنة

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan (meyakini) kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, melainkan dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)


Dalam riwayat lain dikatakan:

لا يلقى الله بهما عبد غير شاك فيحجب عن الجنة

“Tidak ada seorang hamba yang berjumpa dengan Allah (meninggal dunia) dengan meyakini kedua kalimat tersebut tanpa ada keraguan, lantas dia terhalang untuk masuk surga.” 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang cukup panjang, dia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من لقيت من وراء هذا الحائط يشهد أن لا إله إلا الله مستيقناً بها من قلبه فبشره بالجنة

“Siapapun yang engkau temui di balik tembok ini bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan hatinya yakin dengan kalimat tersebut, maka sampaikanlah kabar gembira kepadanya (bahwa dia akan memperoleh) surga.”



***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Aufa Nunung Wulandari
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi, Media Hidayah.
  • Jami’ Ahkamis Shalat, Maktabah Syamilah.
  • Mulakhos Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Darul ‘Ashimah.
  • Penjelasan Hal-Hal yang Wajib Diketahui oleh Setiap Muslim dan Muslimah, Ibrahim bin As-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i.
  • Tanbihat Mukhtashoroh, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad Al-Khuraisyi, Darus Shomi’i.

Senin, 18 Juli 2011

Kita Termasuk Yang Mana ...???




Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan, tatkala ilmu seorang hamba bertambah, bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan waspada di dalam dirinya[1]; tatkala bertambah umurnya, berkuranglah ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya bertambah, kedermawanannya pun bertambah; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah tinggi, maka bertambah pula kedekatannya dengan manusia, dirinya akan semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan merendahkan diri di hadapan mereka.


Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala umurnya bertambah, ketamakannya terhadap dunia justru semakin bertambah; tiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah, bertambah pula keangkuhan dan kecongkakannya.


Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di antara mereka ada yang beruntung, sebagian yang lain justru celaka.

Demikian pula dengan kemuliaan, seperti kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah cobaan. Allah ta’ala berfirman,
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (٤٠)

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (QS. An Naml: 40).


Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar). Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya, karena Dia menguji para hamba dengan berbagai nikmat dan musibah.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al Fajr: 15-16).


Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan duniawi, maka hal itu merupakan bentuk pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan kehinaan baginya.


Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 403-404

Gedong Kuning, Yogyakarta, 23 Rabi’uts Tsani 1431.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

[1] Demikianlah sifat orang beriman, yaitu tatkala mengerjakan amal, mereka tidak lantas berbangga diri dengan amal yang telah dikerjakan. Hal ini diterangkan Allah ta’ala dalam firman-Nya di surat Al Mukminun: 60 (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa). Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”

 
Ketika mendengar ayat ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Mengapa mereka khawatir setelah beramal?), apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?” Nabi pun menjawab, “Bukan, wahai anak Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, meskipun demikian mereka khawatir sekiranya amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya.” (HR. Tirmidzi: 317)