Laman

Kamis, 29 September 2011

Hanya Kepada-Mu Aku Berlindung



Barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah, niscaya dia akan ditelantarkan. Sebab hanya Allah satu-satunya tempat berlindung, meminta keselamatan, dan tumpuan harapan. Allah, Rabb yang menguasai segenap langit dan bumi, tidak ada satupun makhluk yang luput dari kekuasaan dan ilmu-Nya. Segala manfaat dan madharat berada di tangan-Nya. Maka sungguh mengherankan apabila manusia yang lemah bersandar kepada sesama makhluk yang lemah pula, mengapa dia tidak menyandarkan urusannya kepada Allah ta’ala yang maha kuasa ?
Bukankah setiap hari, di setiap kali shalat, bahkan dalam setiap raka’at shalat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita… Allahta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.”(QS. al-Ma’idah: 23).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Tawakal adalah ibadah. Barangsiapa menujukan ibadah itu kepada selain Allah maka dia telah melakukan kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 256)
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia pasti akan mencukupinya…” (QS. ath-Thalaq: 3).
Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu sebab utama untuk bisa mendapatkan kemanfaatan maupun menolak kemadharatan. Tawakal adalah kewajiban dan ibadah. Barangsiapa yang menujukan ibadah ini kepada selain Allah maka dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 260)
Salah satu bentuk perbuatan bergantung kepada selain Allah adalah dengan meminta perlindungan dan keselamatan hidup kepada selain Allah, entah itu jin, penghuni kubur ataupun yang lainnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak menjamin manfaat maupun madharat kepadamu, apabila kamu tetap melakukannya niscaya kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).
Mendatangkan manfaat dan menolak madharat adalah kekhususan yang dimiliki Allah. Barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah dan dia meyakini bahwasanya yang dia seru itu menguasai kemanfaatan dan kemadharatan sebagai sekutu bagi Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 104)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107).
Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa menyingkap keburukan/bahaya dan mendatangkan manfaat merupakan kekhususan Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mencari hal itu dari selain Allah sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 105)
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Kalau Allah yang menguasai hidup dan mati kita, lalu mengapa kita gantungkan hati kita kepada jin dan benda-benda mati yang tidak menguasai apa-apa?!
penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Doa dengan Lafazh “Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki”



 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Do’a adalah ibadah.”
 (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah). 


Ketika kita berdo’a tentu kita berharap agar do’a kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Tidak ada diantara kita yang berdo’a tetapi dia ingin do’anya tidak terkabul. Akan tetapi tidak semua do’a yang dipanjatkan oleh seorang hamba lantas dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Bahkan terkadang ada orang yang berdo’a dengan do’a yang dilarang oleh syariat. Ya, ia ingin beribadah, tetapi malah terjatuh kedalam perkara yang haram.
Marilah kita perhatikan hadits berikut ini,
Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah salah seorang diantara kamu berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki’ atau berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepadaku jika Engkau menghendaki’, tetapi hendaklah ia berkeinginan kuat dalam permohonan itu, karena sesungguhnya Allah tiada sesuatupun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu tidak bisa disamakan dengan makhluk. Seseorang akan mengabulkan permintaan orang lain karena sebab-sebab tertentu. Boleh jadi karena ia memiliki kepentingan dengan si peminta, atau karena ia takut kepadanya atau karena punya harapan dengannya, lalu orang itu memberi apa yang diminta dengan terpaksa. Lain halnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia Maha Suci, tidak mungkin bagi-Nya hal seperti itu karena kesempurnaan sifat tidak butuh-Nya terhadap makhluk, kesempurnaan kedermawanan dan kemuliaan-Nya, pemberian-Nya tiada habis-habisnya, Dia sama sekali tidak butuh kepada makhluk, bahkan makhluk-lah yang butuh kepada-Nya dengan kebutuhan yang tidak putus sekejap matapun.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits “Tangan kanan Allah penuh, tidak akan membuatnya berkurang sebuah nafkahpun, terbuka siang dan malam. Tahukah kalian apa yang telah diinfakkan semenjak penciptaan langit dan bumi? Itu semua tidak mengurangi apa yang ada di tangannya. Dan pada tangan yang lain ada neraca keadilan, Allah merendahkannya dan mengangkatnya.” (HR. Bukhari -diberbagai tempat dalam Al Jami’-, dan Muslim dari Abu Hurairah). Allah Ta’ala memberi karena hikmah dan menahan karena hikmah, dan Dia adalah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Maka seharusnya bagi orang yang meminta kepada Allah, hendaklah ia berkeinginan kuat dalam permohonannya karena sesungguhnya Allah tidak memberikan sesuatu kepada hamba-Nya dalam keadaan terpaksa ataupun menganggap besar permintaan itu.
Allah memiliki sifat kedermawanan, kedermawanan yang terus menerus dan tiada pernah henti. Bahkan Allah memberi karunia kepada hamba-Nya sebelum hamba tersebut meminta. Marilah kita perhatikan penciptaan manusia, sejak air mani diletakkan di dalam rahim, nikmat-nikmat-Nya didalam perut ibunya terus mengalir, Dia mengurusnya dengan sebaik-baiknya. Jika ibunya telah melahirkannya, Dia menjadikan orang tuanya merasa menyayangi dan mengurusnya dengan nikmat-nikmat-Nya sehingga anak itu tumbuh menjadi besar dan dewasa.
Ia selalu berada dalam nikmat-nikmat Allah sepanjang hidupnya. Jika hidupnya selalu dalam keimanan dan ketakwaan, maka bertambahlah nikmat-nikmat Allah kepadanya. Apabila ia meninggal, maka ia memperoleh kenikmatan yang berlipat ganda daripada kenikmatan yang ia peroleh ketika di dunia. Ia memperoleh kenikmatan yang hanya Allah yang bisa menghitungnya, nikmat yang Allah persiapkan khusus bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Semua kenikmatan yang diperoleh seorang hamba didunia ini pada hakekatnya adalah karunia dari Allah Ta’ala. Meskipun sebagian kenikmatan tersebut ia peroleh melalui perantaaran orang lain, tapi ketahuilah bahwa nikmat tersebut tidak akan pernah sampai kepadanya kecuali dengan izin, kehendak dan kebaikan dari Allah Ta’ala. Dengan demikian, Allah-lah yang berhak dipuji atas segala nikmat tersebut. Dialah yang menghendakinya dan menentukannya serta mengalirkannya dengan kebaikan, kedermawanan dan karunia-Nya. Hanya milik-Nya segala nikmat, karunia dan sanjungan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya, dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu minta pertolongan.”(Qs. An-Nahl (16) : 53)
Terkadang Allah Ta’ala menahan pemberian kepada hamba-Nya jika ia memohon kepada-Nya, karena adanya suatu hikmah dan pengetahuan-Nya tentang yang terbaik bagi hamba-Nya, dan terkadang dia mengakhirkan apa yang diminta hamba-Nya untuk waktu yang telah ditentukan atau untuk memberinya dengan pemberian yang lebih banyak. Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang didalamnya tidak mengandung dosa dan pemutusan silautarahmi, melainkan Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga kemungkinan ; (yaitu) dikabulkan segera doanya itu, atau dia akan menyimpan baginya di akhiat kelak,atau dia akan menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya.” Maka para sahabat pun berkata,” Kalau begitu kita memperbanyaknya.”  Beliau bersabda, “Allah lebih banyak lagi ( memberikan pahala).” (HR. Ahmad III/8, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad,dan lainnya. Lihat Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal 37-38, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Hendaknya kita membesarkan harapan kita kepada Allah ketika berdo’a, karena sesungguhnya Allah memberi permintaan yang besar karena kedermawanan, karunia dan kebaikan. Allah Ta’ala tidak merasa diberatkan dengan apa yang Dia berikan, maksudnya tidak ada sesuatu yang berat bagi-Nya walaupun terasa berat bagi makhluk. Karena orang yang meminta kepada makhluk, ia tidak memintanya kecuali sesuatu yang mudah baginya untuk dikabulkan. Lain halnya dengan Rabb Semesta Alam, sesungguhnya pemberian-Nya terwujud sesuai dengan Firman-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,”Jadilah!” maka jadilah ia.” (Qs. Yaasiin: 82).
Maha Suci Allah yang makhluknya tidak dapat mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan, tidak ada Tuhan yang Haq selain-Nya dan tidak ada Rabb selain-Nya.
Penyusun: Ummu Maryam Ismiyanti
Diringkas dari Fathul Majid karangan Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh cetakan Pustaka Azzam.
Dimuroja’ah oleh Ustadz Jamaludin, Lc.
***
Artikel muslimah.or.id

Jika aku tidak dapat mendampinginya di dunia, maka izinkanlah aku mendampinginya di akhirat




Pada zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia tinggal di Suffah masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang dan mengucapkan salam. Zahid kaku dan menjawabnya agak gugup.

"Wahai saudaraku Zahid….selama ini engkau sendiri saja," Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyapa.

"Allah bersamaku ya Rasulullah," kata Zahid.

"Maksudku kenapa selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah…," kata Rasulullah hSallallahu 'Alaihi Wasallam.

Zahid menjawab, "Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku bodoh, siapa yang mau akan diriku ya Rasulullah?"

" Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!" kata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawa ke rumah Zahid dan ia diserah sendiri oleh Zahid ke rumah Said. Disebabkan di rumah Said sedang ada tetamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.

"Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasulullah yang mulia diberikan untukmu saudaraku."

Said menjawab, "Adalah suatu kehormatan buatku."

Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab perkawinan yang selama ini biasanya
seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, "Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?"

Zahid menjawab, "Apakah engkau pernah melihat aku berbohong…."

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, "Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini…. bukankah lebih baik dijemput masuk?"

"Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya," kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, "Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya
menginginkan aku, aku tak mau ayah…..!" dan Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, "Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau…bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahawa lamaranmu ditolak."

Mendengar nama Rasulullah disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama rasul?"

Akhirnya Said berkata, "Lamaran ke atasmu ini adalah perintah Rasulullah."

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah, kenapa sejak tadi
ayah tidak berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku harus dinikahkan dengan pemuda ini. Kerena firman Allah dalam

Al-Qur'an surah An Nur 24 : Ayat 51. "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nur 24:Ayat 51)"

Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada taranya dan segera melangkah pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasulullah yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.

"Bagaimana Zahid?"
"Alhamdulillah ia diterima ya Rasulullah," jawab Zahid.
"Sudah ada persiapan?"
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, "Ya Rasulullah, kami tidak memiliki apa-apa."
Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Uthman, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah mendapatkan wang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam keadaan itu jugalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyeru umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan kelengkapan senjata, Zahid bertanya, "Ada apa ini?"
Sahabat menjawab, "Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengetahui?" .

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, "jika begitu kelengkapan nikah ini akan aku jual dan akan ku beli kuda yang terbaik."
Para sahabat menasihatinya, "Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?"
Zahid menjawab dengan tegas, "Itu tidak mungkin!"
Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut,

"Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik  daripada cintakan Allah dan Rasul-Nya (dengan) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS At Taubah: Ayat 24).


Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.


Rasulullah berkata, "Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah."


Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur'an;
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan kurnia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Surah Ali Imran Ayat 169-170.

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya. " (Al Baqarah :Ayat 154).

Pada saat itulah para sahabat menitiskan air mata dan Zulfah pun berkata, "Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak dapat mendampinginya di dunia, maka izinkanlah aku mendampinginya di akhirat."


 Copas from  Puteri Nurul Husna 


Rabu, 28 September 2011

5 Langkah Penyempurna Agar Rumah Tangga Bahagia



Oleh Al Ustadz Abu Umar Basyir
Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelarbaiti jannati, rumahku adalah surgaku,  memiliki harga mati yang wajib kita beli:  yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.
Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang MahaPencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami.
Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:
Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.
Padahal, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam  bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ  سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya.  Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”
Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya.
Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan  isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.
Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah  murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri?
Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?

Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)

Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih.
Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan.
Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu.
Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan,  kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[3]
Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak.
Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”
Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir,  sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka.
Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang.
Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan.
Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah?
Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.

Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan.
Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang.
Begitu juga dalam kehidupan pasutri.  Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari.
Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.
Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.
Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian.
Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja.
Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?
Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?

Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.
Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”
Salah satu tips menghargai  pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.
Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.

” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)

Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.
Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat.
Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi Shallallahu alaihi wassalam,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka.
“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]
Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.
Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..

[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar,  “Hadits ini hasan Shahih”.

Artikel: salafiyunpad