Laman

Senin, 30 April 2012

Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah





Penyusun: Ummu Uwais dan Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.


Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.


Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya.


Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki

Allah berfirman,

وَمَاخَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Adz-Dzaariyat: 56)


Allah telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.


Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Allah sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.


Allah mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.

Allah berfirman,

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى

“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)


Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.


Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah…” (Qs. An-Nisaa’: 32)” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)


Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Allah takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.



Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab


Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)


Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sahabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu meraka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghirah). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Semoga Alloh merahmati para wanita generasi pertama yang berhijrah, ketika turun ayat:

“dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31)

“Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar penutup tubuh bagian atas mereka.”


Subhanallah… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sahabiah.


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)


Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, diantaranya:
  • Menjaga kehormatan.
  • Membersihkan hati.
  • Melahirkan akhlaq yang mulia.
  • Tanda kesucian.
  • Menjaga rasa malu.
  • Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah.
  • Menjaga ghirah.
Dan lain-lain. Adapun untuk rincian tentang hijab dapat dilihat pada artikel-artikel sebelumnya.


Kembalilah ke Rumahmu

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu.” (Qs. Al-Ahzab: 33)


Islam telah memuliakan kaum wanita dengan memerintahkan mereka untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Ini merupakan ketentuan yang telah Allah syari’atkan. Oleh karena itu, Allah membebaskan kaum wanita dari beberapa kewajiban syari’at yang di lain sisi diwajibkan kepada kaum laki-laki, diantaranya:
  1. Digugurkan baginya kewajiban menghadiri shalat jum’at dan shalat jama’ah.
  2. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi wanita disyaratkan dengan mahram yang menyertainya.
  3. Wanita tidak berkewajiban berjihad.

Sedangkan keluarnya mereka dari rumah adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan karena kebutuhan dan darurat. Maka, hendaklah wanita muslimah tidak sering-sering keluar rumah, apalagi dengan berhias atau memakai wangi-wangian sebagaimana halnya kebiasaan wanita-wanita jahiliyah.


Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya. 

Dengan menjaga hal ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:

Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitrah dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil diantara hamba-hamba-Nya yaitu kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani pekerjaan di luar rumah.
Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas tersendiri, yaitu di luar rumah.

Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.


Islam adalah agama fitrah, dimana kemaslahatan umum seiring dengan fitrah manusia dan kebahagiaannya. Jadi, Islam tidak memperbolehkan bagi kaum wanita untuk bekerja kecuali sesuai dengan fitrah, tabiat, dan sifat kewanitaannya. Sebab, seorang perempuan adalah seorang istri yang mengemban tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, merawat anak, mendidik generasi umat di madrasah mereka yang pertama, yaitu: ‘Rumah’.


Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah


Bersolek merupakan fitrah bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahram yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.


Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.


Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” 
(Qs. Al-Ahzab: 33)


Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)


Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah diantaranya:
  • Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahram.
  • Menampakkan perhiasannya,baik semua atau sebagian.
  • Berjalan dengan dibuat-buat.
  • Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahram.
  • Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.


Pernikahan, Mahkota Kaum Wanita

Menikah merupakan sunnah para Nabi dan Rasul serta jalan hidup orang-orang mukmin. Menikah merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya:


“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nuur: 32)


Pernikahan merupakan sarana untuk menjaga kesucian dan kehormatan baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, menikah dapat menentramkan hati dan mencegah diri dari dosa (zina). Hendaknya menikah diniatkan karena mengikuti sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjaga agama serta kehormatannya.


Tidak sepantasnya bagi wanita mukminah bercita-cita untuk hidup membujang. Membujang dapat menyebabkan hati senantiasa gelisah, terjerumus dalam banyak dosa, dan menyebabkan terjatuh dalam kehinaan.


Kemaslahatan-kemaslahatan pernikahan:
  1. Menjaga keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
  2. Menjaga kehormatan dan kesucian diri.
  3. Memberikan ketentraman bagi dua insan. Ada yang dilindungi dan melindungi. Serta memunculkan kasih sayang bagi keduanya.

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan. Allahu A’lam.




Referensi:
Menjaga Kehormatan Muslimah, Syaikh Bakar Abu Zaid.

***

Artikel www.muslimah.or.id



Subhanallah atau Masya Allah


Subhanallah atau Masya Allah


Ungkapan Subhaanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, dan dengan ucapan itu kita menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari semua keburukan tersebut.


Kebalikannya dari ucapan Maasya Allah, yang diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah. Penggunaan kedua kalimat ini di tengah masyarakat Islam tanah air kerap terbalik-balik, kecuali pada sebagian orang yang mengerti ajaran Sunnah ini. 



Wallahu’alam


Footnote: Ustadz Abu Umar Basyier di Buku Prahara Cinta hal. 173, Penerbit: Shafa Publika

Rabu, 25 April 2012

:: Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Belajar



Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).”

Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.”

Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang kuat dalam belajar).

Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.

Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.

Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.

Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.

Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.

Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.

Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”

Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.

Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.

* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.

Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.

Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.

Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”

Wabillahit taufiq.

Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.

Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

Ada Apa Dengan Putriku



Terdapat banyak faktor penyebab seorang ibu merasa terganggu dengan ulah anak gadisnya. Terkadang terjadi berbagai perselisihan dan permasalahan antara seorang ibu dan anak gadisnya dan tidak sedikit sampai pada tingkatan yang tidak baik. Dan untuk mempermudah setiap gadis dalam menentukan langkah (memperbaiki) permasalahan ini, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan ibu, maka berikut ini kami paparkan beberapa faktor penyebab seorang ibu merasa tersakiti hatinya dengan ulah anak gadisnya, dan wajib wagi seorang anak gadis untuk menjauhinya. Adapun factor-faktor tersebut adalah:


1. Keras kepala

Terkadang ada seorang anak gadis dengan sengaja bersikap keras kepala kepada ibunya sendiri, hanya karena ingin menunjukkan kepada ibunya dan orang-orang sekelilingnya bahwasanya dia adalah seorang anak gadis yang sudah dewasa dan memiliki kepribadian yang mandiri. Tidak jarang seorang anak gadis menolak permintaan ibunya untuk melakukan satu hal, sekalipun hal tersebut bermanfaat. Hal itu dia lakukan semata-mata untuk menyelisihi orang tuanya. Sehingga merasa bebas, tidak terikat dan tampil beda serta menunjukkan kalau dia sudah dewasa, tidak mudah diatur orang lain.


2. Kritis

Terkadang seorang anak gadis ingin berposisi seperti seorang ibu dengan melontarkan kritik-kritik tajam kepada orang-orang disekelilingnya. Orang yang pertama kali menjadi sasaran ternyata adalah ibunya sendiri. Dia mengkritik penampilan ibunya karena dinilai tidak sesuai dengan model yang sedang tren atau menilai cara bergaul ibunya dengan orang lain sebagai cara yang tradisional dan tidak modern. Dengan sikap seperti ini maka anak tersebut telah menjadikan ibunya sebagai sasaran berbagai tuduhan yang terkadang bisa menyebabkan ibunya merasa susah dan sedih.


3. Privasi

Dalam usia remaja seorang anak gadis ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa dirinya memiliki privasi dan kemerdekaan. Sehingga tidak boleh seorangpun campur tangan dalam urusannya. Seorang anak gadis sering menganggap ibunya sebagai orang yang kekanak-kanakan jika ibu berusaha untuk mengetahui atau campur tangan dalam urusan pribadinya.


4. Provokatif

Sebagian anak gadis sering memicu berbagai permasalahan semata-mata untuk memancing emosi orang lain. Sebagai contoh, terkadang sebagian anak gadis tidak mau mengakui kesalahannya untuk memicu emosi orang-orang disekelilingnya terutama ibunya sendiri.


5. Kerjasama

Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang dipenuhi suasana mau bekerja sama di antara anggotanya. Karena kerjasama itu makin mempererat hubungan dan menutup berbagai jalan yang menyebabkan pecahnya rumah tangga. Akan tetapi, terkadang ada seorang anak gadis yang menolak untuk bekerja sama dengan anggota keluarga yang lain. Sikap mau bekerjasama dalam pandangannya menunjukkan kalau dia belum dewasa. Disamping itu dia beranggapan bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk ketundukan terhadap orang lain. Sikap seperti ini tentu menciptakan atmosfir yang menegangkan antara seorang ibu dengan anak gadisnya.


6. Minder

Banyak ibu yang mendapatkan permasalahan karena sikap anak gadisnya yang hidup mengucilkan diri karena merasa malu bergaul di lingkungan luar. Lebih-lebih ketika diajak keluar oleh anggota keluarganya untuk mengunjungi kerabat. Keterkucilan ini menyebabkan gadis tersebut menjadi gadis murung yang tidak tertarik dengan segala sesuatu, sekalipun telah diusahakan untuk menjadikannya ridha.


7. Model pakaian

Sesungguhnya perkara yang banyak menyibukkan perhatian anak gadis adalah pakaian, keelokan, perhiasan, dan segala sesuatu yang baru. Maka seorang ibupun merasa susah saat dia mendapati bahwa pikiran anak gadisnya hanya berkutat pada apa yang dia pakai. Sementara pakaian pilihannya bertentangan dengan perintah-perintah Islam.


8. Makanan bergizi

Perhatian seorang ibu yang paling dominan adalah kesehatan putra-putrinya. Oleh karena itu seorang ibu yang baik memiliki perhatian yang besar dengan makanan yang bergizi. Akan tetapi anda akan mendapatkan bahwa ada remaja putri yang masa bodoh dengan perhatian ini. Mereka lebih suka mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang menimbulkan dampak negatif dari sisi kesehatan dan tidak peduli dengan kecemasan dan kerisauan ibunya berkaitan dengan kesehatannya.


9. Emosional

Banyak ibu yang merasa terganggu dengan sikap emosional anak gadisnya. Seorang anak gadis sering bercanda dengan anggota keluarga yang lain, namun manakala ada sesuatu yang menyakiti hatinya, maka dia beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sebuah bencana yang besar. Karenanya dia meluapkan amarah dan emosinya kepada semua anggota keluarga. Sebagian anak gadis sengaja menimbulkan percekcokan dengan saudara laki-lakinya sebagai sarana mengungkapkan amarah dan emosi.


10. Menyia-nyiakan waktu luang

Tidak sedikit anak gadis menghabiskan banyak waktunya di depan TV menonton film, sinetron, acara musik, kontes kecantikan dan berbagai acara televisi yang tidak bermanfaat dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Acara-acara tersebut sangat tidak baik bagi seorang anak gadis, sehingga hal ini menyebabkan kesedihan mendalam bagi sang ibu.

Inilah penjelasan ringkas tentang hal-hal yang menimbulkan kesedihan orang tua terutama ibu. Kami berharap agar setiap anak bisa mengambil faedah dari artikel ini dan menjauhi segala tindakan yang menyusahkan orang tua. Yang terbaik tanpa perlu disangsikan lagi adalah taat dan berbakti kepada orang tua dan ingatlah selalu bahwasanya orang tua merupakan salah satu jalan menuju surga.



(Sebab-sebab Seorang Ibu yang Merasa Terganggu oleh Ulah Anak Gadisnya, Majalah Qiblati Edisi 6 Tahun I)



http://gizanherbal.wordpress.com/2011/10/09/ada-apa-dengan-putriku/

Senin, 23 April 2012

Jalan Menuju Kemuliaan Akhlaq


Oleh
Ustadz Fariq bin Gasim Anuz


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat atas kalian) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". [al-Baqarah: 151]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Wayuzakkihim” (dan menyucikan kamu), yaitu menyucikan mereka dari akhlaq yang rendah, dari kotoran jiwa dan dari perbuatan jahiliah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. [Tafsir Al-Qur’an Al’-‘Azhim I/291]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأََخْلاَقِ

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia". [HR. Ahmad, Hakim, dll]

Imam Hakim menshahihkan hadits tersebut atas syarat Muslim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 45

Syaikh Musthafa Al-Adawi berkata: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah menuju tauhid (Yang merupakan prioritas utama) dan bersamaan dengan itu beliaupun berdakwah menuju akhlaq yang mulia.

Bahkan bisa dikatakan bahwa akhlaq yang mulia merupakan buah dari tauhid dan keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyebutkan tentang pentingnya para da’i untuk menyampaikan akhlaq yang mulia kepada masyarakat, setelah sebelumnya beliau menyebutkan bahwa prioritas utama dalam dakwah para rasul adalah dakwah menuju tauhid. Beliau berkata: “Saya mengulangi peringatan ini, yaitu dalam pembicaraan tentang penjelasan yang terpenting kemudian yang penting kemudian yang ada di bawahnya, bukan bermaksud agar para da’i membatasi untuk semata-mata mendakwahkan kalimat Thayyibah (Laa ilaaha illa Allah) saja dan memahamkan maknanya saja. Karena setelah Allah menyempurnakan nikmatNya kepada kita dengan menyempurnakan dienNya, maka merupakan suatu keharusan bagi para da’i untuk membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong”[1].

Risalah ini hanya memuat rambu-rambu akhlaq yang baik, dimulai dari Pengertian akhlaq; Hubungan antara akhlaq, aqidah dan iman; Keutamaan akhlaq yang baik; dan terakhir mengenai Cara memproleh akhlaq yang baik. Sebenarnya masih ada lagi rambu-rambu yang penting untuk dibahas, seperti: Barometer akhlaq yang baik; Syarat akhlaq yang baik; Akhlaq orang-orang kafir, dan lain-lainnya. Hanya saja perlu waktu yang lebih lama lagi untuk mengumpulkan dan tentunya yang lebih sulit adalah mencarinya dari pada ulama’, penuntut ilmu dan kitab-kitab.

Meskipun belum maksimal, kami berharap agar risalah ini banyak memberikan manfaat untuk kita semua, dan sebagai perbaikan untuk diri sendiri dan masyarakat. Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sesuai dengan kesanggupanku, dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya kepada Allah aku bertawakkal, dan hanya kepadaNya aku akan kembali.


JALAN MENUJU KEUTAMAAN AKHLAQ

1. Pengertian Akhlaq Dan Macam-Macamnya

Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah 2/70: “Al-Khuluq dan Al-Khulq berarti dien, tabiat dan sifat. Hakekatnya adalah potret manusia dalam bathin, yaitu jiwa dan kepribadiannya” [2]

Manusia terdiri dari lahir dan bathin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan. Di samping itu kita harus mempunyai perhatian yang serius guna menyempurnakan akhlaq kita, karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik, suku, keturunan, gelar, kedudukan ataupun harta, akan tetapi terletak pada iman, taqwa dan akhlaqnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian". [HR. Muslim. lih. Ghayatul Maram no. 415]

Seorang penyair Arab berkata:
يَا خَادِمَ الْجِسْمِ كَمْ تَسْعَى لِخِدْمَتِهِ
أَتْعَبَتْكَ نَفْسُكَ فِيْمَا فِيْهِ خُسْرَانٌ
أَقْبِلْ عَلَى الرُّوْحِ وَ اسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا
فَإِنَّكَ بِالرُّوْحِ لاَ بِالْجِسْمِ إِنْسَانٌ

Wahai pelayan jasmani
Berapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya
Engkau telah menyusahkan diri
Untuk sebuah kerugian yang nyata
Hadapkan perhatian kepada ruhani
Dan sempurnakan keutamaannya
Dengan ruhani, bukan dengan jasmani
Engkau sempurna menjadi manusia

Di antara ulama ada yang mendifinisikan akhlaq yang baik kepada sesama makhluq [3] dengan: Tidak menyakiti orang lain, berderma dan bermuka manis. [4] Tidak menyakiti orang lain, yaitu baik menyakiti fisik, harta maupun kehormatannya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ

"Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-benda dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian". [HR. Bukhari dan Muslim]

Menyakiti orang lain itu dapat dengan lisan, seperti: menggunjing, mengadu-domba, memperolok-olok, menuduh dengan tuduhan dusta, saksi palsu, dan lain-lain. Dapat juga menyakiti dengan perbuatan, seperti: mengambil harta, menipu, berkhianat, merampas, mencuri, memukul, membunuh, memperkosa, korupsi, memakan harta anak yatim, menahan hak orang lain, dan lain-lain.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ

"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". [HR. Bukhari]

Jadi seorang muslim tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Bahkan seorang muslim itu suka berderma dengan membantu orang lain, baik bantuan itu berupa harta, saran, ilmu, tenaga, pikiran, pengaruh dan lain sebagainya.

Yang ketiga adalah bermanis muka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

"Janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikit pun, meskipun engkau berjumpa saudaramu dengan wajah berseri-seri" [HR. Muslim]

Dikatakan, bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma pernah ditanya tentang kebaikan, maka beliau menjawab: “Wajah berseri-seri dan bertutur kata yang halus”. Seorang penyair merangkaikannya dalam sebuah syair:

بُنَيَّ إِنَّ الْبِرَّ شيْءٌ هيِّنٌ
وَجْهٌ طَلِيْقٌ وَ لِسَانٌ لَيِّنٌ
Wahai anakku, sesungguhnya kebaikan itu suatu yang mudah,
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang halus

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Bermuka manis adalah wajah yang berseri-seri ketika berjumpa dengan orang lain, sedangkan lawannya adalah bermuka masam”. Kemudian beliau menyebutkan hadits, perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu dan syair sebagaimana kami sebutkan di atas, lalu berkata: “Wajah yang berseri-seri dapat membuat orang menjadi senang, dapat merekatkan kasih sayang dan dapat pula menjadikan dirimu dan orang yang kamu jumpai menjadi berlapang dada. Tetapi jika engkau bermuka masam, maka orang lain akan menjauhimu, tidak merasa nyaman duduk bersamamu, apalagi untuk berbincang-bincang denganmu.

Orang yang tertimpa penyakit berbahaya, yaitu depresi (tekanan jiwa), dapat sembuh dengan resep yang sangat ampuh, yaitu berlapang dada dan wajah yang berseri-seri. Oleh karena itu para dokter menasehati orang-orang yang tertimpa penyakit depresi untuk menghindari hal-hal yang membuatnya marah atau emosi, karena hal tersebut akan memperparah penyakitnya. Adapun lapang dada dan wajah yang berseri-seri dapat menghilangkan penyakit tersebut, sehingga ia akan dicintai dan dihormati oleh orang lain.” [Makarimul Akhlaq, hal: 29-30]

Tetapi tidak selamanya bermanis muka itu positif, adakalanya dalam kondisi tertentu kita dituntut untuk bermuka masam. [Fotenote, hal: 155-156]

Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlaq, ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tabah dalam menerima cobaan.

Ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan.

Ada lagi yang mengatakan: “Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia”, ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus Saalikin.


HUBUNGAN ANTARA AKHLAQ, AQIDAH DAN IMAN

Sesungguhnya antara akhlaq, aqidah dan iman itu terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlaq yang baik itu sebagai bukti dari keimanan yang kuat, sedangkan akhlaq yang buruk sebagai bukti dari iman yang lemah. Semakin sempurna akhlaq seorang muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka". [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Akhlaq yang baik adalah bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot dalam timbangan, pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula akhlaq yang baik merupakan salah satu sarana seseorang masuk dalam syurga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
T
"idak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia" [HR. Tirmidzi dan Abu Daud dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا

"Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai di antara kalian, dan paling dekat majelisnya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya di antara kalian". [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shaghir 1/439]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam syurga, maka beliau menjawab:

تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

"Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik." [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Akhlaq yang baik mencakup pelaksanaan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang baik itu khusus mu’amalahnya seorang hamba dengan sesamanya, tidak ada hubungannya dengan mu’amalah dengan Al-Khaliq, tetapi ini adalah pemahaman yang dangkal. Akhlak yang baik mencakup mu’amalah dengan sesama makhluq dan juga mu’amalah seorang hamba dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua. Akhlaq yang baik dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara:

1. Membenarkan berita-berita yang datang dari Allah
2. Melaksanakan hukum-hukumNya
3. Sabar dan ridha kepada takdirNya”
[Dinukil dari Makarimul Akhlaq, hal: 16]

Dr. Abdullah bin Dhaifullah Ar-Ruhaili berkata: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban atas seorang manusia adalah hak yang paling besar, demikian pula adab terhadap Allah adalah kewajiban yang paling wajib. Karena Dia adalah Maha Pencipta tidak ada sekutu bagiNya, sedangkan selainNya adalah makhluq, maka tidaklah sama antara hak makhluq dibandingkan dengan hak Allah. Begitu pula adab manusia terhadap Allah tidaklah sama dengan adab manusia kepada sesamanya. Karena Allah itu Pencipta dan tidak ada sekutu bagiNya, maka wajiblah atas seorang manusia untuk mentauhidkanNya, bersyukur dan beradab kepadaNya sesuai dengan apa yang telah digariskan.


Adapun pokok-pokok mu’amalah manusia dengan Allah secara ringkas adalah sebagai berikut: 

Beriman kepadaNya dengan mantap, mentauhidkanNya dalam nama-nama, sifat-sifatNya dan mentauhidkanNya dengan beribadah, selalu taat kepadaNya dan menjauhi maksiat, baik di kala sendirian atau ketika disaksikan orang lain, secara rahasia ataupun terang-terangan, baik dalam keadaan sulit maupun mudah. Mengagungkan syiar-syiar Allah dan aturanNya, serta tunduk kepada syari’atNya, menghormati kitabNya dan sunnah-sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab kepada keduanya dan menerima keduanya dan memahami dan mengamalkannya dengan benar tanpa berlebihan dan tanpa menganggap enteng, memberikan perhatian penuh kepada dienNya dalam hal pemahaman, keimanan dan pengamalan. Mengagungkan Allah dan mensucikanNya dari segala kekurangan, mensifatiNya dengan apa yang Allah sifatkan dalam kitabNya dan melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, ridha kepada Allah dan takdirNya, mencintaiNya lebih dari yang lain, selalu berdzikir dan bersyukur kepadaNya, memperbaiki ibadah kepadaNya, berbuat baik kepada hamba-hambaNya, tidak berbuat zhalim kepada mereka dan berprasangka baik kepadaNya.” [Dinukil dari kitab “Al-Akhlaq Al-Fadhilah Qawaa’id wa Munthalaqat Liktisabiha” hal. 86-87]

Sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa dien Islam ini adalah semata-mata pergaulan yang baik kepada manusia, sehingga merugikan manusia adalah kejahatan terbesar. Kemudian terlihat secara zhahir, dia berperilaku baik kepada orang lain, tetapi pada saat yang sama dia menyia-nyiakan hak-hak Allah, dengan berbuat syirik, kufur, bid’ah, dan maksiat lainnya. Dia berdo’a kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk dijadikan sebagai tumbal, menyia-nyiakan sholat.

Ketika orang tersebut ditegur, ia akan mengatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, dan orang yang berhak untuk ditegur adalah orang yang menyakiti tetangga, mengambil hak orang lain, korupsi dan lain sebagainya. Tidakkah ia tahu bahwa dosa syirik adalah sebesar-besar dosa besar, dan Allah tidak akan mengampuninya kecuali jika si pelaku bertaubat. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia akan mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya". [an-Nisa’ : 116]

Di sisi lain terdapat juga sebuah fenomena, adanya sebagian orang yang meremehkan masalah akhlaq kepada sesama makhluq dengan sangkaan bahwa dien itu semata-mata menunaikan hak Allah tanpa menunaikan hak makhluq. Padahal sesungguhnya menunaikan hak manusia adalah bagian dari menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang erat antara keimanan kepada Allah dengan akhlaq kepada sesama makhluq. Rasulullah bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling akhlaqnya di antara mereka". [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau (kalau tidak bisa) hendaklah diam". [HR. Bukhari]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائقَهُ

"Demi Allah! seseorang tidak akan beriman (beliau mengucapkannya tiga kali), Para sahabat bertanya: “Siapakah dia Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya." [HR. Bukhari]

Dan keterangan-keterangan lainnya yang menunjukkan bahwa seorang muslim tidak akan berbuat aniaya kepada orang lain.


KEUTAMAAN AKHLAQ YANG BAIK.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata: “Banyak nash dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan untuk berakhlaq yang baik dan memuji orang yang menghiasi diri dengannya, serta menyebutkan keutamaan-keutamaan yang diraih oleh orang yang berakhlaq mulia. Disebutkan pula pengaruh-pengaruh positif dari akhlaq yang mulia berupa manfaat dan maslahat, baik yang umun maupun yang khusus.

1. Di antara faedahnya yang paling besar adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan perintah RasulNya n , serta meneladani akhlaq nabi n yang agung. Berakhlaq yang baik iu sendiri merupakan ibadah yang besar sehingga seorang hamba dapat hidup dengan penuh ketenangan dan kenikmatan secara konsisten, di samping ia memperoleh pahala yang besar.

2. Orang yang berakhlaq mulia dicintai oleh orang yang dekat maupun yang jauh, musuh bisa berubah haluan menjadi teman, orang jauh menjadi dekat.

3. Dengan akhlaq yang baik akan memantapkan dakwah yang dijalankan oleh seorang da’i dan guru yang mengajarkan kebaikan, ia mendapat simpati banyak orang. Mereka akan mendengarkan dengan hati yang senang dan siap menerima penjelasannya dengan sebab akhlaq yang baik, juga karena tidak ada yang menghalangi jarak antara keduanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [ali Imran: 159]


Keterangan tambahan (dari penyusun):
“Sebelum melanjutkan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah, ada baiknya kita mendengarkan penjelasan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’u wal bina’u. Beliau berkata: “Terdapat kontradiksi antara ilmu yang dipelajari oleh sebagian orang dengan amalan mereka. Sebagian dari mereka tidak memiliki akhlaq yang mulia, tidak suka bersilaturrahmi, suka berdusta, mengingkari janji, kasar, bermuka masam, padahal senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah. Juga kurang aktif dalam amal sosial, seperti membantu para janda, anak yatim dan orang-orang yang butuh bantuan. Hendaklah dakwah itu tidak sebatas di atas mimbar dan ceramah di majelis ilmu saja, hendaklah dibarengi dengan dakwah bil hal (dengan perbuatan) dan akhlaq yang mulia, karena pengaruhnya lebih besar daripada berdakwah dengan kata-kata...”

4. Akhlaq itu merupakan ihsan (berbuat baik kepada orang lain) yang terkadang memiliki nilai tambah melebihi ihsan dengan harta. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ

"Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan manusia dengan harta-harta kalian tetapi yang dapat memuaskan mereka adalah akhlaq yang baik".

Yang sempurna apabila kedua hal tersebut dimiliki sekaligus, akan tetapi jika seseorang tidak punya sehingga tidak dapat berbuat baik kepada orang lain dengan materi, maka dapat diganti dengan akhlaq yang baik, yaitu dengan perilaku dan ucapan yang baik, bahkan mungkin mempunyai pengaruh yang lebih membekas daripada berbuat baik dengan harta.

5. Dengan akhlaq yang baik, hati yang tenang dan tentram akan memantapkan seseorang untuk mendapatkan ilmu yang ia inginkan.

6. Dengan akhlaq yang baik, memberikan kesempatan bagi orang yang berdiskusi untuk mengemukakan hujjahnya, dan ia dapat pula memahami hujjah teman diskusinya, sehingga bisa terbimbing menuju kebenaran dalam perkataan dan perbuatannya. Di samping itu akhlaq yang baik menjadi faktor terkuat untuk mendapat kedua hal tersebut di atas pada teman diskusinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran". [HR. Thabrani, Syaikh Ali bin Hasan menshahihkannya berdasarkan syawahidnya]

7. Akhlaq yang baik dapat menyelamatkan seorang hamba dari sikap tergesa-gesa dan sikap sembrono, disebabkan oleh kematangannya, kesabarannya dan pandangannya yang jauh ke depan, mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan menghindarkan bahaya yang ia khawatirkan.

Faidah: Syaikh Shalih Alu Syaikh menyebutkan dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’ wal bina’ bahwa ada empat fenomena yang bisa mengotori dakwah yaitu:
a. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, tidak dari sisi yang lain. Biasanya mereka ini telah mendapatkan doktrin dari guru mereka dan selalu didikte sehingga tidak bisa berpendapat lain, selain yang digariskan.
b. Terburu-buru.
c. Fanatik madzhab, fanatik kelompok serta kultus individu
d. Menuntut kesempurnaan pihak lain, baik perorangan ataupun lembaga. Selama sama dalam Ushul, yaitu sama-sama Ahlussunnah wal jama’ah, maka yang ada dalam hal ini adalah saling memberi nasehat.)

8. Dengan akhlaq yang baik seseorang dapat menunaikan hak-hak yang wajib dan sunnah kepada keluarga, anak-anak, kerabat, teman-teman, tetangga, customer (pelanggan) dan semua orang yang berhubungan dengannya, karena berapa banyak hak orang lain yang terabaikan disebabkan oleh akhlaq yang buruk.

9. Akhlaq yang baik itu membawa kepada sifat adil. Orang yang berakhlaq baik biasanya tidak melegalisasi semua tindakan dan ia akan menjauhi sikap keras kepala pada pendapatnya sendiri, karena keduanya itu mengakibatkan sikap tidak adil dan menzhalimi orang lain.

10. Orang yang berakhlaq baik selalu dalam keadaan tenang dan penuh dengan kenikmatan dan hatinya tentram sebagai modal bagi kehidupan yang bahagia. Adapun orang yang berakhlaq buruk selalu dalam keadaan sengsara, tersiksa lahir batin, selalu dalam pertentangan dengan dirinya sendiri, dengan anak-anaknya, dengan orang-orang yang berhubungan dengannya. Hidupnya menjadi terganggu, waktunya sia-sia, tidak mendapatkan keutamaan-keutamaan dari akhlaq yang baik, bahkan yang ia dapatkan adalah akibat yang jelek disebabkan akhlaq yang buruk.

Dengan semua ini atau yang semisalnya akan membuat jelas maksud sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan sholat dengan baik hanya dengan akhlaq yang baik" [5].
[Dinukil dari “A-Mu’in ‘ala tah-shili adabil’ilmi” hal. 61-65]


BEBERAPA CARA MEMPROLEH AKHLAQ YANG BAIK.

Akhlaq yang baik dapat memiliki oleh manusia dengan dua jalan:

1. Sifat dasar yang sudah ada sebelumnya sebagai pemberian dari Allah, dan pemberian dari Allah ini diberikan kepada orang yang Dia kehendaki. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj Abdul Qais:

إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمِ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا قَالَ بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ

"Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlaq yang dicintai Allah, yaitu tahan emosi dan teliti.” Asyaj bertanya: “Wahai rasulullah, apakah kedua akhlaq tersebut karena usahaku untuk mendapatkannya ataukah pemberian dari Allah?” Beliau menjawab: “Pemberian dari Allah sejak awal.” Asyaj berkomentar: “Segala puji bagi Allah yang memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh Allah dan RasulNya sebagai sifat dasar.” [6].


2. Dengan cara berusaha untuk mendapatkan akhlaq yang baik. 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy t menjelaskan bahwa setiap perbuatan terpuji, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, pasti dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkannya. Di samping usaha kita, maka watak dasar sebagai faktor terbesar yang dapat membantu seseorang untuk memperoleh akhlaq yang baik, dengan sedikit usaha saja bisa tercapai apa yang ia kehendaki.


Kemudian Syaikh Abdurrahman menjelaskan beberapa sebab untuk memperoleh akhlaq yang baik:

a. Ketahuilah termasuk faktor terbesar yang dapat membantu seseorang memperoleh akhlaq yang baik adalah dengan cara berfikir tentang keutamaan-keutamaan akhlaq yang baik. Karena motivasi terbesar untuk melakukan seuatu perbuatan baik adalah mengetahui hasil dan faidah yang dapat dipetik darinya, meskipun perkara tersebut suatu perkara yang besar, penuh dengan tantangan dan kesulitan, akan tetapi dengan bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian, maka kesulitan dan beban yang berat itu akan terasa ringan.

Setiap kali terasa berat bagi jiwa untuk berakhlaq yang baik, segeralah ia diingatkan dengan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia dan hasil yang akan diperoleh dengan sebab kesabaran, maka dirinya akan melunak, tunduk patuh, pasrah dan penuh harapan untuk mendapatkan segala keutamaan yang didambakan.

b. Faktor terbesar lainnya dalah faktor kemauan yang kuat dan keinginan dan tulus untuk memiliki akhlaq yang mulia. Ini adalah seutama-utama bekal seseorang yang diberi taufiq oleh Allah. Maka semakin kuat keinginan untuk berakhlaq yang mulia, –insya Allah- akan semakin mudah untuk mencapainya. [7].

c. Hendaklah seseorang memperhatikan, bukankah akhlaq yang buruk akan mengaibatkan penyesalan yang mendalam dan kegelisahan akan selalu menyertainya? di samping pengaruh-pengaruh buruk lainnya. Dengan demikian ia akan menolak berperilaku dengan akhlaq yang buruk.

d. Melatih diri dengan akhlaq yang baik [8] dan memantapkan jiwa untuk meniti sarana-sarana yang bisa membawa kepada akhlaq yang baik. Hendaklah seseorang mengokohkan dirinya untuk siap berbeda pendapat dengan orang lain, karena orang yang berakhlaq baik pasti akan mendapat penentangan dari orang banyak, baik dalam pemahaman ataupun dalam keinginan.

Setiap muslim pasti akan mendapatkan gangguan,baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Maka hendaklah ia tabah dalam menanggung derita.

Perlu diketahui, bahwa gangguan berupa ucapan yang menyakitkan hanya akan merugikan si pengucapnya, dan seseorang dikatakan tegar jika ia tidak terpancing dengan ucapan-ucapan yang dimaksudkan untuk memancing emosinya, karena ia tahu jika ia terpengaruh atau marah berarti ia telah membantu si pengucap yang menginginkan kerugiannya.

Jika ia tidak peduli, tidak ambil pusing dan bersikap acuh, maka hal itu akan menjengkelkan hati si pengganggu yang bertujuan hanya menyakiti hatinya, membuatnya menjadi gusar, gelisah dan cemas. Sebagaimana manusia itu berusaha menghindari gangguan yang akan menimpa fisiknya, maka hendaklah ia berusaha pula menghindari setiap gangguan yang menimpa batinnya, yaitu dengan tidak memberi perhatian kepadanya. [Buku Al-Mu’in ‘Ala Tah-shiili Adabil ilmi wa Akhlaaqil Muta’limin... hal. 66-68]

e. Termasuk usaha yang paling penting dan paling berpengaruh adalah berdo’a kepada Allah, meminta agar Dia memberikan taufiq kepada kita semua dan mengaruniakan kepada kita akhlaq yang baik, dan agar menghindarkan diri kita semua dari akhlaq yang buruk. Semoga Allah membantu dan memudahkan kita dalam rangka memperoleh akhlaq yang baik.

... وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ ...

"(Wahai Allah) Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang baik, karena tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada akhlaq yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku keburukan, karena tidak ada yang dapat memalingkan keburukan kecuali Engkau" [9]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berdo’a dengan do’a sebagai berikut:

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِيْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ و الأَدْوَاءِ

"Wahai Allah, jauhkanlah aku dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran nafsu dan dari penyakit"
.
Dalam riwayat yang lain:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

"Wahai Allah, sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran hawa nafsu" [HR. Tirmidzi 5/233, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 3/184]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdo’a pula:

اللَّهُمَّ كَمَا أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي

"Wahai Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlaqku". [HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shagir 1/280]


PENUTUP

Sementara hanya inilah yang bisa kami kumpulkan untuk para pembaca dari beberapa literatur, sebenarnya masih ada lagi literatur- literatur lain yang menunjang dan menyempurnakan risalah ini. Semoga Allah memudahkanku agar dapat menyempurnakan risalah ini dan lebih memuaskan para pembaca dalam hal informasi-informasi yang bermanfaat, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.


Referensi:
1. Tauhid Perioritas Pertama dan Utama oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, penerbit Darul Haq, Jakarta.
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun Khalid Abu Shalih, Riyadh, K. S. A. cet. I tahun 1417/1996 M tanpa penerbit.
4. Kitabul Ilmi oleh oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun: Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Penerbit Dar Ats Tsuraya –Riyadh-KSA. Cet. I tahun 1417/1996 M
5. Ghayatul Maram
6. Shilatul Akhlaq bil ‘Aqidah wal Iman, oleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Ghusn, penerbit: Daar Al-‘Ashimah-Riyadh-K.S.A. cet. 1415 H
7. Al-Mu’in ala Tahshiili Adabil Ilmi wa Akhlaqil Muta’alimin, oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, penerbit: Daar As-Shumaili-Riyadh-K.S.A. Cet. I tahun 1413 H-1993 M
8. Fiqhul Akhlaq wal Mu’amalaat Bainal Mukminin, oleh Abu Abdullah Musthafa bin Al-Adawi, penerbit Dar Ibnu Rajab-Mesir, cet. II th. 1419 H-1998 M
9. Al-Akhlaqul Faadhilah, Qawa’id wa Muntalaqaat Liktisabiha, Oleh Doktor Abdullah bin Dha’ifullah Ar-Ruhaili, cet. I th. 1417 H/1996 M-Riyadh-K.S.A. tanpa penerbit.
10. Shahih Muslim, tahqiq Muhammah Fuad Abdul Baqi’
11. Ad-Du’a Minal Kitab was-Sunnah, oleh DR. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani
12. Iqadzul Himam Al-Muntaqa min Jami’il Ulumi wal Hikami lil Hafizh Ibnu Hajar, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, penerbit: Dar Ibnul jauzi-Dammam-K.S.A. Cet. I th. 1412 H/1992 M
13. Mushaf Al-Qur’an dan terjemah maknanya, cetakan Madinah Nabawiyah-K.S.A. th. 1411 H
14. Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maraam, oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, penerbit: Maktabah An-Nahdhah Al-haditsah Makkah Al-Mukarramah –K.S.A. Cet. III th. 1417 H –1997 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Buku. “TAUHID Prioritas utama dan pertama” hal. 27-28, oleh Syaikh Muh. Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, penerbit Darul Haq Jakarta
[2]. Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal: 9
[3]. Pembahasan tentang akhlaq kepada sesama makhluq
[4]. Makarimul Akhlaq, hal: 23; Taudhihul Ahkam, hal: 6/222
[5]. Syaikh Ali Hasan berkata: HR. Abu Daud (4798), Ibnu Hibban 1927, Hakim (I/60), Al-Baghawi (13/81), dari Aisyah, sanadnya terputus. Tetapi hadits ini memiliki penguat dengan sanad yang hasan, diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak 1/60, Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath (lembaran ke 141/sisi b), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu . Lih. Ad-Duur al-Mantsur 2/75 dan at-Tarhib 3/404. Syaikh Sulaiman berkata: HR. Abu Daud dalam kitab al-Adab, bab fi husnil khuluq 4/252, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ Shagir
[6]. HR. Abu Daud no. 5225, Ahmad (4/206), Muslim bagian pertama no. 25, 26 dan Tirmidzi no. 2011
[7]. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Al-Fawaid, hal 210-211: “Adapun akhlaq yang baik, seperti sabar, berani, adil, kesatria, menjaga kesucian diri, memelihara kehormatan, dermawan, tahan emosi, pemaaf, tidak mendemdam, tahan derita, mengutamakan orang lain, memiliki harga diri dari tindakan orang lain, rendah hati, merasa cukup, jujur, ikhlash, membalas kebaikan dengan kebaikan yang sepadan atau dengan lebih baik, pura-pura tidak tahu dengan kesalahan orang lain yang tidak disengaja, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yan tidak bermanfaat, celaan hati terhadap orang yang berakhlaq yang buruk. Itu semua muncul dari kekhusyu’an dan kemauan yang kuat. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan tentang bumi ini asalnya tenang, kemudian air mengenainya, maka bergeraklah bumi (menumbuhkjan berbagai tanaman-Red), lalu berubah menjadi bumi yang indah dan menawan, begitu juga makhluq akan menjadi indah dan menawan jika mendapatkan taufik dari Allah. (Dinukil dari buku Makarimul Akhlaq, hal 15
[8]. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Madarikus Salikin 2/300: “Penyucian jiwa lebih berat dan lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan badan. Barangsiapa menyucikan jiwanya dengan latihan, usaha keras, dan menyendiri, tanpa ada contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia seperti orang sakit yang menyembuhkan dirinya dengan pendapatnya semata. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya jika dibandingkan dengan pengobatan dokter ?! Sesungguhnya para rasul itu adalah dokter-dokter hati, maka tidak ada jalan untuk menyucikan dan memperbaiki hati kecuali melalui jalan dan metode mereka, dengan cara tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk mengikuti para rasul, hanya kepada Allah semata kita memohon pertolonganNya. (Dinukil dari Makarimul Akhlaq hal. 33)

Jumat, 20 April 2012

Bergaul Dengan Tetangga



Bismillah, washalatu wa ssalaamu ‘ala Rasulillah wa man tabi’ahu biihsan ila yaumiddin.

Amma ba’du,


Saudariku, semoga Allah merahmatimu.

Manusia adalah makhluk sosial, kita tentu setuju dengan pernyataan ini. Kita dikelilingi oleh orang lain dimana kita juga membutuhkan mereka sesuai dengan peranannya masing-masing. Ada orang tua, saudara, tetangga, teman, maupun orang-orang yang jasanya biasa kita butuhkan seperti guru, penjual, pembeli, supir angkot, pak tukang dan lain-lain.


Karena itu, bermuamalah antar sesama manusia merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan kita. Agama yang mulia ini pun sudah mengatur bagaimana tata cara bermuamalah antar sesama. Dalam tulisan berikut kita khususkan pembahasan tentang bagaimana bermuamalah atau bergaul dengan tetangga. Mari kita simak petuah dan contoh nyata manusia yang paling mulia di muka bumi ini, Nabi Muhammad ‘Alaihi Shalaatu wassalaam dalam bergaul dengan tetanga. Semoga bermanfaat bagi kita semua.


Anjuran memuliakan tetangga.

Berikut diantara dalil-dalil yang menganjurkan untuk memuliakan tetangga :
Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

“ Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku agar memperhatikan tetangga sehingga aku mengira bahwa dia mendapatkan warisan.” (HR. Bukhori 5555)

Dari Suroih Al-Adawi Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari pembalasan maka muliakan tetangganya.” (HR. Bukhori 5560 )


Jadilah engkau tetangga yang baik!

Seorang muslim haruslah berusaha menjadi tetangga yang baik. Janganlah seorang muslim malah menjadi ancaman bagi tetangganya, baik tetangganya tersebut muslim ataupun kafir, kaya ataupun miskin, tua atau pun muda, sesuku ataupun berbeda suku. RasulullahShalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه

“Tidak masuk surga orang yang apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori 66)

Wahai saudariku, penuhilah hak-hak tetanggamu dan berbuat baiklah kepada mereka !

Jika tetanggamu yang muslim merupakan kerabatmu maka penuhilah haknya sebagai kerabat, hak sesama mulim, dan hak sebagai tetangga.

Jila tetanggamu seorang muslim maka penuhilah haknya senagai sesama muslim dan hak sebagai tetanga.

Jika tetanggamu adalah orang kafir maka penuhi haknya sebagai tetangga.

Ketahuilah saudariku, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

وخير الجيران عند الله خيرهم لجاره

“ …dan sebaik baik tetangga disisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.” (HR. Tirmidzi 1867 dishahihkan al-Albani Silsilah Shohihah 1/211)


Bagaimana seharusnya bergaul dengan tetangga?

Tetangga yang baik hendaknya menjaga kehormatan dan harta tetangganya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miqdad bin al-aswad radhiallahu ‘anhu, ia mengatakn bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda kepada para sahabatnya: “Apa pendapat kalian tentang zina?” Para sahabat menjawab : “Perbuatan terlarang yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan hal itu akan tetap haram hingga hari kiamat.” 

Beliau Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

لأن يزني الرجل بعشرة نسوة أيسر عليه من أن يزني بامرأة جاره

“Seorang yang berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan dosanya daripada ia berzina dengan istri tetangganya.” Lalu beliau bertanya : “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab:” Perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan akan tetap haram hingga hari kiamat.”

 Beliau bersabda:

لأن يسرق الرجل من عشرة أبيات أيسر عليه من أن يسرق من جاره

“Seseorang yang mencuri disepuluh rumah,lebih ringan dosanya dari pada mencuri dirumah tetangganya.”
 ( HR. Imam ahmad 23905)


Tetangga yang baik hendaknya memenuhi hak-hak tetangganya yang muslim.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

حق المسلم على المسلم ست : إذا لقيته فسلم عليه وإذا دعاك فأجبه وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فسمته وإذا مرض فعده وإذا مات فاتبعه

“Hak muslim terhadap muslim yang lain ada enam, apabila engkau bertemu dengannya hendaklah engkau mengucapkan salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhi undangannya, apabila ia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasihat kepadanya, apabila ia bersin kemudian dia memuji Allah makadoakan dia dengan mengucapkan “ yarhakumullah”, apabila dia sakit maka jenguklah, apabila dia meningggal maka iringi jenazahnya.” (HR. Muslim, 2162)
Menutupi aib tetangganya.

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalambersabda :

من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
Menjauhkan perkara yang dapat menggangu ketenangan saudaranya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِى جَارَهُ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Pembalasan maka jangan mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhori, 5559 )


Membalas kejelekan dengan kebaikan.

وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

“… serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik).” ( QS. Al-Ro’du : 13 :22 )


Memberi makanan pada tetangga terutama kepada yang miskin.

Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu sesungguhnya kholilku Shalallahu ‘alaihi waSalamberwasiat kepadaku;

إذا طبخت مرقا فأكثر ماءه ثم انظر أهل بيت من جيرانك فأصبهم منها بمعروف

“Apabila kamu memasak kuah, maka perbanyak airnya, lalu lihatlah keluarga rumah tetangamu, lalu berilah mereka sewajarnya.” (HR. Muslim : 4759 )

Dari Umar Radhiallahu ‘anhu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda :

لا يشبع الرجل دون جاره

“Tidak boleh kenyang seseorang sedangkan tetangganya kelaparan.” 
(HR. Imam Ahmad 367. Semua rawinya kuat. Liht Musnad Umar bin Khotthob yang terakhir )


Jika tetangga kafir, berbuat baik dilakukan dengan cara memberi hadiah, menjenguknya bila sakit, menasehatinya, mengajaknya agar masuk islam dan menunaikan haknya yang lain.

Jika tetangga ahli bid’ah dengan tidak mendatangi undangannya yang bid’ah, tidak membantu kebid’ahannya, menasehati dengan baik, menyeru agar kembali kepada Sunnah dan menunaikan hak tetangga yang lainnya.

Semoga Allah selalu memberikan taufiq kepada kita untuk menjadi tetangga yang baik dan memberikan kepada kita tetangga yang baik.


Wa Shalallahu ‘ala nabinaa Muhammad walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin…..






***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Ismianti Ummu Maryam
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’ :
1. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Hafidzahmad Ibn ‘Alii Ibn Hajar Al Atsqalani. Daar Ibn Jauzii,Al Qaahra.

2. Terjemah Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Team Ahli Tafsir Dibawah Pengawasan Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri,Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.

3. Tuntunan Praktis Berqurban ,Al Furqon edisi 4 th. Ke 71428/207,. (dengan sedikit perubahan)

Faedah Dzikir # 3


Dzikir itu mengimbangi (pahala) menebaskan pedang dalam perang di jalan Allah ditambah harta yang dikeluarkan serta bekal yang dibawa di atas kuda perang fisabilillah.

Dzikir adalah pokok kesyukuran. Tidak dikatakan bersyukur kepada AllahTa’ala selama belum dzikir kepada-Nya.

Makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah dari kalangan orang-orang yang beriman yang lisannya selalu basah karena dzikir kepada-Nya. Maka dia menjadi orang yang diteguhkan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.. Dzikirnya dijadikan cirri khasnya, dan ketaqwaan menjadi sebab dirinya masuk surga dan selamat dari api neraka.

Tiada yang bisa menghilangkan sifat kekerasan hati kecuali dzikir kepada Allah Ta’ala. Seseorang berkata kepada Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan kepada engkau tentang kerasnya hatiku?” Dia menjawab, “Lembutkan dengan dzikir.”

Dzikir adalah kesembuhan dan obat bagi hati. Lalai adalah penyakitnya. Hati yang sakit, maka kesembuhan serta obatnya ada dalam dzikir kepada Allah Ta’ala.

Dzikir adalah asas sikap loyal terhadap Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong, sedangkan lalai adalah dasar sikap permusuhan dengan-Nya. Seorang hamba senantiasa dzikir kepada Rabbnya sampai mencintai-Nya dan menjadikan-Nya satu-satunya penolongnya, atau dia terus melupakan-Nya sampai membenci dan memusuhi-Nya.

Tidak ada yang sebanding dengan dzikir dalam perkara mendatangkan yang mengundang kenikmatan Allah dan menghindarkan dari siksa-Nya. Maka dzikir benar-benar pendatang kenikmatan dan penolak siksaan. Sebagian salaf berkata: “Alangkah buruknya melupakan Dia yan tidak pernah lupa memberimu kebajikan.”

Dzikir menjadi sebab mendapatkan shalawat dari Allah Azza wa Jalladan dari para malaikat-Nya. Siapa saja yang Allah dan para malaikat-Nya bershalawt atasnya, maka dia telah beruntung dan menang yang sesungguhnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (٤١)وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا (٤٢)هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepadaAllah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan sore. Dialah yang memberi shalawat kepadamu dan malaikat-Nya.” (Qs Al-Ahzab: 41-43)


Barang siapa yang ingin tinggal dalam taman surga, hendaknya dia banyak tinggal dalam majelis dzikir. 

Majelis dzikir adalah taman surga.

Majelis dzikir adalah majelis para malaikat. Tiada majelis didunia ini yang menjadi majelis mereka, kecuali majelis yang didalamnya dzikir kepada Allah. Sebagaimana telah ada dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ

“Sesungguhnya Allah itu memiki para malaikat yang selalu berkeliling dijalan-jalan untuk mencari ahli dzikir.”(Muttafaq alaih)

Allah Ta’ala membanggakan para ahli dzikir kepada para malaikat-Nya. Sebagaimana telah dikabarkan Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, berkata, “Mu’awiyah keluar pergi menuju sebuah halaqah di masjid, lalu berkata, “Apa yang menjadikan kalian duduk disini?” mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.” Dia berkata, “Apakah Allah tidak menjadikan kalian duduk, kecuali hanya untuk itu?” Mereka mejawab, “Allah tidak menjadikan kami duduk melainkan hanya untuk itu.” Dia berkata, “Sesungguhnya saya tidaklah meminta kalian bersumpah sebab menuduh kalian (berbohong).” Lalu Mu’awiyah melanjutkan “Tidak ada orang yang lebih sedikit mengambil hadits dari Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar menuju kesebuah halaqah para sahabatnya, lalu bersabda, ‘Apa yang menjadikan kalian duduk disini?’ Para sahabat menjawab, ‘Kami duduk untuk dzikir kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya atas petunjuk-Nya untuk kami kepada islam dan dengan islam Dia menganugrahi kami dengan kehadiran engkau.’ Beliau bertanya, ‘Apakah Allah tidak menjadikan kalian duduk melainkan hanya untuk itu?’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah Dia tidak menjadikan kami duduk melainkan hanya untuk itu.’ Beliau bersabda, ‘Ketahilah sesunggunya aku tidak bersumpah untuk menuduh kalian. Akan tetapi, Jibril alaihissalam telah datang kepadaku dan menyampaikan kepadaku bahwa Allah membanggakan kalian semua kepada para malaikat.’”(HR. Muslim)Ini adalah sebuah pembanggaan dari Ar Rabb, menunjukkan kemuliaan dzikir di sisi-Nya, kecintaan-Nya akan dzikir dan bahwasanya dzikir mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan seluruh amalan lainnya.
Semua amal disyariatkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Sehingga maksud seluruh amal adalah mewujudkan dzikir kepada Allah Ta’ala.AllahAzza wa Jallaberfirman,

وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”(Qs Thaha: 14)

Disebutkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa dia ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Dia menjawab, “Mengingat Allah itulah yang terbesar”

Ahli suatu amal yang paling afdhal adalah mereka yang dalam amalnya itu paling banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Maka, sebaik-baik puasa adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala dalam puasanya. 

Sebaik-baik para jama’ah haji adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah. Sebanyak-banyak orang yang bersedekah adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, demikian dalam semua amal.

Senantiasa dzikir mampu menggantikan berbagai ibadah tathawwu’ (ibadah sunnah), baik yang bersifat badaniah maupun harta seperti haji tathawwu’. Hal itu ditegaskan dalam satu hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa orang-orang fakir yang turut dalam hijrah datang kepada nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah , orang-orang kaya bisa melakukan berbagai amalan yang tinggi derajatnya dan menikmati kesenangan yang terus-menerus. Mereka menunaikan shalat sebagaimana kami menunaikan shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Sedangkan mereka memiliki kelebihan harta yang bisa mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, dan berjihad?” Beliau bersabda, “Maukah kuajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa mengejar orang yang mendahului kalian dan orang-orang di belakang kalian akan mendahului dengannya sehingga tiada seorang pun lebih utama dari pada kalian, kecuali orang yang melakukan apa-apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Bertasbihlah, bertahmidlah, dan bertakbirlah setiap usai shalat’.” (Muttafaq alaih)

Beliau menjadikan dzikir sebagai ganti dari berbagai ibadah yang luput dari mereka , seperti: haji, umrah, dan jihad. Beliau juga menyampaikan bahwa mereka ini akan bisa mengalahkan mereka itu dengan dzikir ini.

Dzikir kepada Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling besar yang mampu membantu seseorang untuk taat kepada-Nya. Dzikir membuat ketaatan menjadi sesuatu yang sangat dicintai seorang hamba, menjadikanya sangat mudah, sangat lezat, dan penyejuk mata baginya.

Dzikir kepada Allah Ta’ala merubah yang sulit menjadi mudah, merubah yang rumit menjadi sederhana, dan meringankan berbagai hal yang berat.

Dzikir kepada Allah Azza wa Jalla menghilangkan semua hal yang menakutkan dalam hati dan memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam pencapaian rasa nyaman. Tiada sesuatu yang paling bermanfaat bagi orang yang mengalami rasa takut yang teramat sangat selain dzikir kepada Allah Ta’ala.

Dzikir memberi kekuatan, sehingga dia mampu melakukan apa-apa yang tidak mampu dia lakukan. 

Tidakkah anda melihat bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallammengajarkan kepada putrinya (Fathimah) dan menantunya (Ali radhiallahu anhuma) agar bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tigapuluh tiga kali, dan bertakbir tiga puluh empat kali setiap malam bila keduanya hendak tidur. Pernah Fathimah meminta kepada beliau seorang pembantu dan mengeluhkan pekerjaanya menumbuk tepung,mengambil air, dan melakukan berbagai macam tanda bakti. Beliau mengajarkan hal itu kepadanya lalu bersabda, “Sesungguhnya itu lebih baik bagi kalian dari pada seorang pembantu”(HR Bukhari)

Maka dikatakan bahwa orang yang senantiasa dzikir itu akan mendapatkan kekuatan sepanjang hari nya sehingga tidak perlu lagi pembantu.

Semua amal untuk kepentingan akhirat selalu dalam bentuk diperlombakan. Orang-orang ahli dzikir adalah mereka yang menang dalam lomba itu.

Banyak dzikir kepada Allah Azza wa Jalla adalah pengaman dari kemunafikan. Maka sesunggunya orang yang munafik adalah orang yang sangat sedikir dzikir kepada AllahAzza wa Jalla. Allah Ta’alaberfirman tentang orang munafik,

وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

“Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa: 142) 

 Ka’ab berkata, “Barang siapa banyak berdzikir kepada Allah , maka dia akan bebas dari kemunafikan.”




***
muslimah.or.id
dari buku Syarah Hisnul Muslim, Pensyarah : Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad. Referensi dari terbitan Darul Falah dan Pustaka Ar Rayyan

Faedah Dzikir # 2


Dzikir adalah tanaman surga. 

Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda

مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barang siapa mengucapkan: سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ‘Maha Suci Allah yang Maha Agung dan segala puji hanya bagi-Nya’, maka ditanam baginya sebatang kurma dalam surga,” 

(At-Tirmidzi, no. 3464; dan shahihkan Al-Albani. Lihat Shahih At-Tirmidzi.)

Pemberian dan karunia yang diberikan karena dzikir tidak pernah diberikan karena amal yang lain apa pun.
Dzikir kepada Allah Ta’la secara kontinyu akan memberikan rasa aman yang terpancar dari lisan yang mana lisan sering menjadi penyebab kesengsaraan hamba dalam kehidupan duniawi dan akhirat. Maka sesungguhnya melupakan Rabb menjadikan dirinya lupa kepada dirinya dan segala kemaslahatannya. 

Sebagaimana firman AllahTa’la,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُون

“ Dan jangan lah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah oranng-orang yanng fasik.”(Qs Al-Hasyr: 19)


Dzikir bisa tetap bersama hamba sekalipun dia berada diatas kasurnya, di pasar, sehat atau sakit, senang dan bahagia, ditempat kerjanya, keadaan berdiri, duduk, berbaring, bepergian, atau ketika mukim. Dengan demikian, dzikir berlaku umum, dapat dilaksanakan dalam semua waktu dan kondisi, kapan pun dan bagaimana pun.


Dzikir adalah cahaya bagi pengamalnya ketika di dunia, dalam kuburnya, dan di akhirat akan memancar dihadapannya, membimbingnya berjalan di atas shirath. Oleh sebab itu, beliau sangat serius memohon cahaya kepada Allah, sehingga beliau meminta-Nya agar meletakkan cahaya dalam daging, tubuh dan tulang, urat dan rambut, pendengaran dan penglihatan, atas dan bawah, kanan dan kiri, belakang dan depan beliau.sehingga beliau berucap: ”… dan jadikanlah aku sebagai cahaya.” 

 
Beliau shlallallahu alaihi wa sallam memohon kepada Rabbnya agar menjadikan cahaya pada dzat beliau yang lahir ataupun bathin, dan sudi kirannya meliputi beliau dari segala penjuru. Maka, agama Allah adalah cahaya. Kitab-Nya adalah cahaya. Rasul-Nya adalah cahaya.rumah-nya yang disediakan untuk para wali-nya adalah cahaya yang gemerlap. Allah Ta’ala adalah cahaya semua lapisan langit dan bumi. Diantara nama-nama-Nya adalah An Nur (cahaya).


Bahwasanya dzikir adalah pokok segala asas. Jalan umum bagi semua orang dan sangat diharapkan semua wilayah. Barangsiapa yang dibukakan pintu masuk ke dalam dzikir, maka telah dibukakan pintu masuk bertemu kepada Allah Azza wa Jalla. Hendaknya dia bersuci dan masuk sehingga bisa mendapatkan sisi-Nya segala apa yang dia inginkan . Siapa yang mendapatkan (ridha) Allah, maka dia akan meraih segalanya. Dan barang siapa terluput dari (ridha) Allah maka dia terluputkan segalanya.


Dzikir mampu mengumpulkan apa yang terserak dan memecah apa yang menyatu, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Yakni, dzikir mampu mengonsentrasikan hati dan keinginan hamba yang berserakan, memupus keresahan, kegalauan, kesedihan, tekanan jiwa, dan kesatuan tentara iblis, sebab iblis terlaknat terus mengirim kepada setiap hamba pasukan demi pasukan.Dzikir juga mendekatkan akhirat dan membuatnya terpandang agung dalam hati, sebaliknya mengerdilkan dunia di mata hamba dan menjauhkannya dari hati maupun lisan.


Dzikir membangunkan hati dari tidur pulasnya dan membangkitkan dari ngantuknya. Jika hati tidur, maka akan ketinggalan segala macam keuntungan, kesempatan, dan mengalami kerugian.
Dzikir adalah sebatanng pohon yang membuahkan berbagai pengetahuan.


Seorang ahli dzikir akan sangat dekat dengan Dzat yang dia berdzikir kepada-Nya. Dzat yang dia berdzikir kepada-Nya akan bersama-Nya. Kebersamaan ini berupa perlindungan, cinta, pertolongan dan taufik. Hal ini karna firman Allah Ta’ala

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

“Sesungguhnya Allah beserta ornag-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(Qs An-Nahl: 128)

وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan sesunggunya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(Qs Al-Ankabut: 69)

لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

“Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.”(Qs At-Taubah: 40).


Seorang ahli dzikir adalah orang yang besar bagiaannya ketika mendapatkan kebersamaan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi.

”Aku bersama hamba-Ku jika dia berdzikir kepadaku. Dengan-Ku kedua bibirnya bergerak”

 (HR Ahmad, (2/540) dan selainnya. Dishahihkan Al-Albani. Lihat Shahih Al Jami’, (no.1906))




***
muslimah.or.id
dari buku Syarah Hisnul Muslim, Pensyarah : Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad. Referensi dari terbitan Darul Falah dan Pustaka Ar Rayyan

Faedah Dzikir # 1



Saya mensarikan faedah ini dari faedah-faedah yang telah disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya, Al-Wabib Ash-Shayyib.1

Bahwasanya dzikir itu mengusir syetan, menghantamnya dengan telak dan membinasakannya.

Bahwasanya dzikir itu mengundang keridhaan Ar-Rahman Azza wa jalla.

Bahwasanya dzikir itu mengusir rasa sedih dan gundah dari dalam hati dan mengisi hati dengan sukaria, bahagia , dan semangat.

Bahwasanya dzikir itu menguatkan hati dan badan.

Bahwasanya dzikir itu memberikan cahaya pada wajah dan hati.

Bahwasanya dzikir itu mengundang rezeki.

Bahasanya dzikir itu menyelimuti orang yang melakukannya dengan wibawa, rasa manisnya dzikir, dan kecerahan.

Bahwasanya dzkir itu mewariskan rasa cinta yang merupakan ruh islam, puncak perputaran agama, dan poros kebahagian dan keselamatan.

Bahwasanya dzikir itu mewariskan rasa muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) sehingga dengannya seseorang memasuki pintu ihsan. Seseorang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya. Dan bagi orang yang lalai tiada jalan menuju dzikir hinggan sampai ke kedudukan ihsan.

Bahwasanya dzikir mewariskan taubat dan kembali kepada Allah Ta’ala.

Bahwasanya dzikir mewariskan kedekatan kepada Allah Ta’ala.

Bahwasanya dzikir membukakan baginya pintu agung di antara pintu-pintu pengetahuan. Setiap kali seseorang memperbanyak kadar dzikirnya, bertambah pula pengetahuannya.

Bahwasanya dzikir itu mewariskan rasa takut kepada Rabbnya dan semangat mengagungkan–Nya. Hal itu karena kekuasaan dahsyat atas hatinya dan kebersamaannya selalu dengan Allah Ta’ala, yang berbeda dengan orang lalai. Bahwa penutup rasa takut itu sangat tidak kentara dalam hati.

Bahwasanya dzikir itu mewariskan kepadanya ingat kepada Allah Ta’ala. AllahTa’alaberfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu ….” (Al-Baqarah: 152)


Seandainya tiada keutamaan lain dalam dzikir selain satu keutamaan ini saja, tentu telah cukup utama dan mulia.

Bahwasanya dzikir itu mewariskan kehidupan hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi ikan. Maka, bagaimana kondisi ikan jika meninggalkan air?”

Bahwasanya dzikir adalah makanan hati dan ruh.

Bahwasanya dzikir itu memberikan kebersihan hati dari karatnya. Tidak diragukan bahwa hati berkarat seperti berkaratnya kuningan, perak, dan selainnya. Bersihnya hati adalah dengan dzikir. Sesungguhnya dzikir itu akan menjadikan hati cemerlang hingga seperti cermin yang bersih. Jika dzikir ditinggalkan, hati menjadi berkarat, dan jika berdzkir, maka hati menjadi cemerlang. Hati menjadi berkarat karena dua hal: lalai dan dosa. Dan cemerlangnya karena dua hal: istiqfar dan dzikir. Barang siapa yang kelalaiannya mendominasi waktu, maka akan menjadi karat yang berlapis-lapis pada hatinya. Karatnya sesuai dengan kelalaiannya. Jika hati berkarat, maka semua pengetahuan tidak akan tergambar sesuai dengan kenyataannya, sehingga melihat kebathilan dalam bentuk kebenaran. Bila karat hati berlapis-lapis, suasan menjadi lebih gelap sehingga tidak akan terlihat baginya bentuk kebenaran sebagai mana aslinya. Jika karat hati berlapis-lapis dan menghitam, lalu dilapisi pembusukan, rusaklah daya analisis dan daya pemahamannya sehinga tidak menerima lagi kebenaran dan tidak mengingkari kebathilan. Ini adalah siksaan hati yang paling dahsyat.

Bahwasanya dzikir itu menggugurkan, lalu melenyapkan berbagai kesalahan. Dzikir adalah kebaikan yang paling agung; dan perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.

Bahwasanya dzikir itu menghilangkan rasa hampa antara hamba dan Rabbnya. Sesungguhnya bagi seseorang yang lalai antara dirinya dan Rabbnya Ta’ala adanya kehampaan, dan rasa hampa itu tidak akan hilang melainkan dengan dzikir.

Bahwasanya apa yang dapat digunakan seorang hamba untuk berdzikir kepada Rabbnya dengan mengagungkan-Nya, atau bertahmid kepada-Nya akan mengingatkan pelakunya pada saat dalam kondisi sulit.

Bahwasanya seorang hamba jika mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan dzikir kepada-Nya ketika dalm kondisi bahagia, maka akan mengetahui ketika dalam kesulitan.

Bahwasanya dzikir itu akan menyelamatkan diri dari azab Allah Ta’ala.

Bahwasanya dzikir adalah sebab turunnya ketenangan, meluapnya rahmat, dan liputan para malaikat. Hal itu sebagaimana disampaikan nabi shallallahu alaihi wa sallam.2

Bahwasanya dizkir adalah sebab yang menyibukkan lisan sehingga tidak terjerumus perbuatan ghibah, mengadu domba, bekata keji, dan berkata bathil.

Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis para malaikat, sedangkan majelis-majelis untuk main-main dan lalai adalah majelis-majelis syetan.

Bahwasanya ahli dzikir akan merasa bahagia dengan dzikirnya dan para teman duduknya. Dia adalah orang yang penuh berkah dimanapun berada. Sedangkan orang yang lalai akan merasa sengsara dengan main-main dan kelalaiannya. Orang-orang yang bergaul dengannya akan sengsara karenanya.

Bahwasanya dzikir akan mengamankan setiap hamba dari kerugian pada hari kiamat. Dan sesungguhnya setiap hamba dalam majelis yang tidak menyebutkan nama Rabbnya Ta’la, maka akan mengalami kerugian di hari kiamat.

Bahwasanya menangis dalam kesepian menyebabkan naungan Allah Ta’ala bagi seorang hamba pada hari ketika semua manusia dihimpunkan di mahsyar yang agung di bawah arsy-Nya,sedangkan semua orang berada dibawah panas terik matahari yang melelehkan mereka ditempatnya. Sedangkan seorang ahli dzikir akan mendapatkan naungan dibawah arsy Ar-Rahman Azza wa Jalla.

Bahwasanya menyibukkan diri dengan dzikir adalah penyebab bagi turunnya karunia Allah Ta’ala bagi ahli dzikir yang merupakan pemberian terbaik yang diberikan kepada para peminta.

Bahwasanya dzikir adalah ibadah yang paling mudah. Dan diantara ibadah yang paling manis dan utama. 


Sesungguhnya gerakan lisan adalah gerakan anggota badan yang paling ringan dan paling mudah.jika salah satu anggota badan seorang manusia bergerak selama sehari semalam sama dengan gerakan lisan, pasti akan sangat berat terasa olehnya, bahkan hal itu tidak mungkin.




***
muslimah.or.id
disalin dari buku Syarah Do’a dan Dzikir HISNUL MUSLIM, Pensyarah : Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad. Penerbit Darul Falah.

Larangan Bagi Wanita Haid



Darah haid adalah darah normal pada wanita, berwarna hitam pekat dan berbau tidak enak, keluar dari tempat dan waktu tertentu. Darah ini penting sekali dipahami baik bagi wanita itu sendiri, termasuk pula bagi pria karena ia nantinya menjadi pendamping wanita atau memiliki sanak keluarga yang mesti ia jelaskan tentang masalah ini. Yang muslim.or.id angkat kali ini mengenai masalah larangan bagi wanita haid. Yaitu hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan. Dan hal yang dilarang ini juga berlaku bagi wanita nifas. Juga ada sedikit penjelasan mengenai hal-hal yang sebenarnya bukan larangan.


Larangan pertama: Shalat

Para ulama sepakat bahwa diharamkan shalat bagi wanita haid dan nifas, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan mereka pun sepakat bahwa wanita haid tidak memiliki kewajiban shalat dan tidak perlu mengqodho’ atau menggantinya ketika ia suci.

Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)

Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ

“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no. 321)


Larangan kedua: Puasa

Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)


Larangan ketiga: Jima’ (Hubungan intim di kemaluan)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359) Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)

Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidh adalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)

Dalam hadits disebutkan,

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”

Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,

اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)

Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.


Larangan keempat: Thawaf Keliling Ka’bah

Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

Larangan kelima: Menyentuh mushaf Al Qur’an

Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)

Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)


Hal-Hal yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas

Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya.
Berdzikir.
Bersujud ketika mendengar ayat sajadah karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling kuat.
Menghadiri shalat ‘ied.
Masuk masjid karena tidak ada dalil tegas yang melarangnya.
Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di kemaluan).
Tidur bersama suami.

Adapun tentang masalah lainnya, muslim.or.id akan membahasnya di kesempatan yang lain, bi idznillah.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.



@ Riyadh, KSA, 13 Rabi’ul Awwal 1433 H



Penulis: Muhammad Abdul Tuasikal