Laman

Rabu, 30 Januari 2013

Hidayah itu Mahal ....



Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?
Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.

Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.

Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.

Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah l kepada jalan-Nya yang lurus.

Dalam Tanzil-Nya, Allah  berfirman:

“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
(Al-Baqarah: 213)

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah  maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. 
(Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)


Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat:

beliau berkata, “Allah tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah l mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.”

Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah . Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. 

Allah berfirman:

 “Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.”
(Ash-Shaf: 5)

“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110)

[I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]


Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:

1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:

“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, terlebih selain beliau, dalam ayat:

“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” 
(Al-Qashash: 56)

Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah semata. 

(Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341)


Saudariku, bersyukurlah kepada Allah ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. 

Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. 

Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah hidayah kepada jalan yang lurus.

“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)

Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?

Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan jawabannya: Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah  setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki. Allah pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. 

Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah  untuk memohon hidayah, karena Allah  telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…”
(An-Nisa’: 136)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam.

 (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38)


Berbahagialah dengan hidayah yang Allah berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah. 

Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia.
Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah  anugerahkan kepadamu

Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis.
Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi , “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)

Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. 
Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.


Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin ….



Wallahu a’lam bish-shawab.




(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

source : asysyariah.com

Rabu, 16 Januari 2013

Menjadi Ibu Panutan



Ibu adalah nama lain dari kasih sayang yang indah, yang diberikan Allah sebagai rahmat bagi hambaNya. Ibu ibarat malaikat yang menjadi pelindung anak- anaknya dari setiap kejahatan yang akan menyakiti mereka. Bahkan ketika manusia terlahir tanpa dampingan seorang ibu, rasanya mereka akan siap menukar apapun yang dimilikinya demi kehadian sang ibu tercinta. Maka tak heran jika seorang ibu selalu diagungkan kebaikannya, baik ketika dia masih ada ataupun sudah tiada.

Maha suci Allah yang telah menciptakan kedekatan antara seorang ibu dengan anak- anak mereka, sebagai sebuah kemanusiawian. Setiap anak akan begitu nyaman berada di samping ibunya. Karena itulah, secara alamiah pula, anak-anak melihat ibu sebagai sosok panutan yang patut diikutinya. Seperti spons kering yang menyerap setiap air yang ada di dekatnya, seperti itulah anak- anak dengan polos mencontoh cara berucap, dan bersikap para ibu mereka.

Maka tak dipungkiri lagi, jika ibu adalah ibarat guru pertama bagi anak-anak. Dengan ibu jugalah, anak- anak belajar mengenali dan mempelajari dunia ini. Lalu bagaimanakah sikap kita sebagai seorang ibu, agar kita pantas dijadikan tauladan yang baik untuk anak- anak kita?


Pertama, menjadi ibu yang penuh kasih sayang

Yang pertama dan utama jadilah ibu yang baik dan kasih sayang. Dari sikap terpuji inilah anak- anak akan mengenali dan mencontoh bahwa hanya kebaikan dan kasih sayang lah yang sebenarnya diperlukan jika mereka ingin selalu disayangi, dan diterima oleh kehadirannya oleh sesama. Sebaliknya, mereka juga akan belajar membedakan bahwa perbuatan jahat hanya akan menyakiti orang lain dan merugikan diri mereka sendiri.


Kedua, ramah dan menghargai orang lain

Selain itu, ajarkan kepada anak bahwa setiap orang itu berbeda, dan kita harus menghargai perbedaan-perbedaan itu. Tanamkan pada diri anak- anak kita bahwa tidak seorang pun senang diperlakukan kasar. Maka ucapan terima kasih, tolong, dan maaf, harus dibiasakan sedari mereka kecil, agar terpola dalam pikiran anak bahwa sikap ramah adalah hal penting yang dibutuhkan untuk menjalin sebuah persahabatan.


ketiga, tegas dalam berprinsip.

Kenalkan pada anak- anak kita, bahwa di dunia ini juga ada hal yang tidak bisa kita tawar tentangnya. Sebagai contoh adalah masalah akidah. Kenalkan kepada mereka berikut alasannya tentang kepastian dan kepatenan nilai- nilai tersebut untuk harus selalu kita patuhi.


keempat, Luangkan Waktu Untuk Komunikasi Yang Hangat

Jika kita mengharapkan anak akan patuh, maka komunikasi yang hangat dari kita sebagai ibu, sangat penting untuk dilakukan. Dan dalam berkomunikasi, anak dan ibu juga membutuhkan banyak waktu. Maka sudah seharusnya kita menyediakan waktu untuk membangun hubungan yang berkualitas dengan anak- anak mereka.

Tunjukkan kepada anak, bahwa dengan berkomunikasi, kita dapat menjadi partner mereka yang baik dalam mencari kebaikan. Jika akhirnya nasehat harus diberikan, maka biarkan terlebih dahulu mereka mengemukakan ide dan pikiran mereka, dan jangan beri batasan agar mereka juga tidak mengambil jarak dengan kita. Dengan itu InshaAllah mereka akan menjadikan kita sebagai contoh, karena kemampuan kita menjadi pendengar yang merangkul dan mengayomi mereka, saat mereka susah.


Kelima, bersikap positif

Sebagai seorang ibu, hendaknya kita berhati- hati dalam bersikap dan berucap. Anak- anak kebanyakan akan meniru materi, pemikiran bahkan gaya bicara kita terutama bila mereka berada di dekat kita. Pembicaraan dan sikap yang positif akan memberikan contoh yang baik pula bagi mereka, agar kelak menjadi pribadi yang positif.


keenam, Konsisten

Dari semua sikap yang kita berikan kepada anak- anak kita tersebut, maka tak akan ada gunanya jika kita sendiri tidak konsisten dengan yang telah kita ajarkan. Pencontohan sikap baik yang terus menerus dan konsisten, akan lebih mudah terbahasakan kepada anak ketimbang hanya sekedar nasehat atau kata- kata yang kita suarakan ke telinga mereka.


By. Syahidah