Laman

Rabu, 29 Mei 2013

Growing old ...


Bismillah

Menua adalah keniscayaan
Menua adalah proses alamiah

Semua inginnya tetap muda, kuat, sehat

Tetapi Allah telah merancang siklus yang siapapun tak bisa menolaknya
Berawal dari bayi yang lemah tak berdaya
Maka, begitulah kelak ketika telah menua
Kembali seperti bayi lemah tak berdaya
Ingatanpun sudah kacau
Bicarapun kacau

Ketika kita melihat seseorang yang melalui masa tuanya dengan ujian yang berat
Dengan berderet penyakit komplikasi yang sulit diobati
Badan terkulai lemah tak berdaya hanya bisa berbaring di tempat tidur
Segala aktivitas hanya bisa dikerjakan di tempat tidur
Mulai mandi, buang air besar dan kecil
Kondisi yang begitu memiriskan hati

Bahkan tak jarang
Tidak bisa menerima keadaan dan kurang tawakkal
Suka marah-marah dan mengeluh

Mari sejenak kita bermuhasabah dan merenungkan
Jika Allah mengizinkan
Akan seperti apakah kita kelak jika telah berusia lanjut ?
Akan seperti apakah masa tua yang kelak kita alami ?
Dengan bahagia ?
Atau sengsara ?

Siapapun ingin melewati masa tua dengan indah
Menghabiskan masa tua dengan badan yang sehat
Siapapun ingin jika kelak berusia lanjut tidak menyusahkan anak-anak
Tidak menjadi beban bagi saudara-saudara
Siapapun ingin menjemput ajal dalam keadaan khusnul khotimah

Tapi ingatlah kita, apa yang kita panen kelak adalah apa yang kita tanam hari ini Masa tua adalah cerminan masa muda
Apa yang kita panen kelak adalah apa yang kita tabung hari ini
Menanam kebaikan, berbuah kebaikan
Menanam keburukan, berbuah keburukan

Maka, manfaatkan masa muda sebelum datang masa tua
Bertaubat di masa muda lebih afdhol dibanding taubatnya orang yang sudah tua
Manfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya
Banyak-banyak bertaubat dan beramal sholih
Karena masa tua belum tentu akan datang
Jika sampaipun kita tidak tahu akan seperti apa melaluinya
Dengan kebaikan atau keburukan?

Jika kita menginginkan masa tua yang bahagia dan akhir hidup yang baik maka persiapkan mulai detik ini juga.

15 Nasehat Untuk Ibu Demi Masa Depan Putrinya



Bismillah
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh,


(Dari kitab kaifa takun ahsan murobbi fil ‘alam, h 44-45)
(Diterjemahkan oleh Ustadz Dr. Syafiq Basalamah, MA)

1. Hormatilah suamimu ketika dia di rumah atau di luar rumah, dan bersegeralah memenuhi kebutuhannya, khususnya di depan putri-putrinya.

2. Jangan bertikai dengan suami di depan anak-anak, never!
Perselisihan yang terjadi tidak boleh melewati pintu kamar tidur.

3. Sengajalah meminta izin suami di depan putri-putrinya, bila ingin masuk atau keluar atau apa saja.

4. Jangan pernah menampakkan pembangkangan atas perkataan suami di depan putri-putri.

5. Bagi istri-istri penguasa terhadap suaminya, yang ikut campur dalam segala urusan suaminya bahkan mengintrogasi suami (Kenapa jendelanya dibuka? Bagaimana kamu keluar sendirian kemarin?! Kenapa beli roti ini?dll), seakan dialah komandan di rumah, menyuruh, memerintah dan melarang di rumah.

Yakinlah bahwa putri-putrinya kelak akan menjadi fotocopy dirinya, secara otomatis dia akan menguasai suaminya seperti yang dia lihat di ibundanya, dan bila ternyata dia mendapatkan suami yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan ayahnya, maka tiada solusi kecuali CERAI.

6. Seorang istri tidak boleh memberikan izin bagi lelaki untuk memasuki rumahnya di kala suaminya tidak di rumah, walaupun dia itu adalah teman dekat keluarga ataupun tetangga.

7. Seorang ibu yang mulia akan bersolek dan berdandan untuk suaminya, dengan sengaja dia menunjukkan hal itu di depan putri-putrinya seraya menjelaskan bahwa itu adalah hak suami, dan dia juga tidak bersolek ketika keluar rumah, atau di depan orang yang bukan suami, untuk memberi contoh nyata pada putri-putrinya.

8. Istri yang sholeh tidaklah pelit dan tidak pula boros untuk urusan rumah, dia berada di tengah.

9. Sangat indah sekali, bila anak-anak meminta sesuatu pada ibunya dan sang ibu berkata kepada mereka: “Kita akan menanyakannya pada ayah, dan kita tidak akan melakukan sesuatu kecuali bila direstui olehnya”.

Dengan sering kalinya melakukan hal ini, maka akan tertancap di dalam diri putri-putri penyerahan tongkat kepemimpinan pada lelaki, dan tidak boleh seorang wanita menelanjangi suaminya dari pakaian kepemimpinan dengan dalih gender dan kebebasan.

10. Istri yang sholehah akan menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang ceria dan tidak langsung mengadukan tingkah anak-anak yang menyebalkan atau tetangga, atau apa saja. Namun ia akan mencari waktu yang tepat.

11. Tidaklah elok seorang istri mengadukan kehamilannya, urusan menyusui, atau pekerjaan rumah di depan putri-putrinya karena hal itu akan terekam di memorinya.

12. Tatkala ada tetangga atau teman wanita memintanya untuk turut berkunjung ke rumah fulanah, hendaklah sang ibu berkata pada mereka dan diperdengarkan pada putri-putrinya, ‘‘Aku akan memberitahu suamiku, bila dia setuju maka aku akan ikut”, dan tatkala suaminya datang maka ia memberitahu suaminya tanpa nada paksaan,‘‘Apakah ia diperbolehkan untuk berkunjung ke rumah fulanah”, dan bila suaminya diam saja, maka ia tidak memaksa, dan langsung memberi tahu temannya bahwa ia tidak bisa ikut, di depan putri-putrinya.

13. Bila sang ayah memerintahkan kepada anggota keluarga suatu perintah, maka hendaklah sang ibu bersegera melaksanakannya dan menyuruh anak-anak bersegera, dan mengajarkan pada mereka pentingnya mematuhi perintah suami, tatkala anak-anak merasakan hal itu maka ia akan tumbuh besar menghormati nahkoda yang kelak mengemudikan bahteranya agar tidak pecah dan tenggelam di samudra.

14. Tatkala seorang istri meminta kepada suaminya berbagai macam permintaan yang melelahkan suaminya karena ketidak mampuannya, maka kelak putrinya akan menirunya tatkala mereka menjadi istri.

15. Seorang istri yang duduk ngobrol bersama tetangga atau temannya menceritakan rahasia-rahasia rumah tangganya, maka kelak putrinya akan dengan mudah menyingkap rahasia suaminya di depan orang lain, tatkala ia menjadi istri.

insyaAllah dengan menjalankan nasehat-nasehat ini,
kelak putri-putri kalian akan menjadi istri-istri dan ibu-ibu yang mencetak mujahid-mujahid dakwah masa depan.

aamiin.

Kewajiban Istri part 1



Suami istri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. 
Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. 
Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri.

Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. 
Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.


Keagungan Hak Suami

Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)


Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ

“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” 
(HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami" (Majmu' Al Fatawa, 32: 260)

Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.


Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama: Mentaati perintah suami

Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.

Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)


Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)


Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.


Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ

“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)


Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. ... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnyamakruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]


Jika Suami Tidak di Tempat

Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.


Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

-bersambung insya Allah-



@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Shafar 1433 H

www.rumaysho.com




[1] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.

[2] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal

Senin, 06 Mei 2013

Rumput Tetangga Lebih Hijau....




ada pepatah mengatakan ' Rumput Tetangga Lebih Hijau'
pasti sudah tau apa arti pepatah itu.... 
tapi untuk apa kita selalu melihat rumput tetangga ...
lebih baik menyiram rumput sendiri agar subur dan hijau....

Syukurilah apa yang telah Allah berikan kepada kita ...
karena tidak ada gunanya berangan2 panjang ...


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun 
sebelum penciptaan langit dan bumi."

(HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.)

Misteri Rezeki



Sebuah teka-teki kehidupan, yang sadar atau tidak sering timbul di dalam pikiran kita, mengapa saya tidak sekaya orang lain ? mengapa mereka yang banyak bermaksiat justru semakin sukses dalam bisnisnya? Apakah ini sudah takdir saya? Untuk itu perlu kita kaji firman Allah Ta"ala berikut ini :


"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
[QS. Az Zukhruf : 32]


Bahwa Allah-lah yang mengatur pembagian rezeki kepada hambanya, Allah-lah yang mengatur penghidupan kita (ma"isyah kita) bukan orang lain, bukan pelanggan, bukan pimpinan perusahaan dan bukan diri kita, tapi Allah-lah yang menentukan seberapa banyak rezeki kita hari ini dan esok.


Lalu Mengapa Allah Menentukan Rezeki Saya Hanya Sedikit ?

Boleh jadi karena Allah tahu batas kemampuan kita, jika diberi kekayaan melimpah kita tidak lagi ingat kepadaNya, kita akan banyak berbuat maksiat. Karena Allah Maha Tahu, Dia mengetahui kadar kemampuan kita dalam menerima fitnah harta.


"Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." 
[QS. Al Baqarah : 233


"Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat." 
[QS. Asy Syuura : 27]


Semua itu terjadi karena Allah tahu kapasitas dan kemampuan kita dalam menerima ujian kekayaan, 
semua karena kasih sayang Allah kepada hambanya, ada orang yang jika diberi kemiskinan maka dia akan bermaksiat sedangkan jika dia dalam kecukupan maka dia banyak beramal kebajikan. 

Sebaliknya ada orang-orang yang diberi kemiskinan justru banyak beribadah, sedangkan jika diberi kekayaan akan bermaksiat.


"Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda"
[HR. Tirmidzi]


Kalau Rezeki Sudah Ditakdirkan Lalu Mengapa Kita Harus Berusaha dan Bekerja ?

Kita tidak pernah tahu takdir kita sebelum takdir itu terjadi, oleh karena itu tetaplah berusaha bekerja sungguh-sungguh dan banyak beramal kebaikan untuk menyambut takdir kita, karena kita akan dipermudah menuju takdir kita.

Tentang masalah ini, jangankan kita, sahabat Rosulullah shallallahu alaihi wasallam pun menanyakan hal yang sama, buat apa berusaha dan bersusah payah jika sudah ditakdirkan buruk ?



"Wahai Rasulullah! Kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda:
Barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia.
Dan barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara.
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah!
Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang berbahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. 
Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara. 
Kemudian beliau membacakan ayat berikut ini: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." 

(Shahih Muslim No.4786)


Jadi bersyukurlah jika Anda termasuk orang-orang yang dimudahkan dalam berbuat kebaikan. 
Selain dari itu, perbaiki kualitas agama kita agar kita lebih siap menerima ujian baik kekayaan dan kemiskinan, karena jika kita sudah berbuat baik dengan banyak bersedekah dan bertakwa maka Allah akan memudahkan jalan kesuksesan kita,

sekali lagi renungkan firman Allah Ta"ala berikut ini :

"Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah."
[QS. Al-Lail : 4 - 7]


Lalu Bagaimana dengan Mereka yang Berbuat Dosa, Mengapa Mereka Justru Sukses di Dunia ini ?
Karena mereka telah melupakan peringatan Allah, maka Allah akan memberikan semua kenikmatan dunia sehingga mereka semakin lupa dan semakin banyak berbuat dosa yang akhirnya akan di azab dengan sekonyong-konyong, sesuai dengan firmannya :

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."
[QS. Al An"aam : 44]


Jadi berhati-hatilah jika disaat kita banyak berbuat dosa dan maksiat justru Allah memberi rezeki melimpah!

Ingatlah :

"Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas." 
[QS Al Baqarah :212]


Wallahu"alam


source: PengusahaMuslim.com

Jumat, 03 Mei 2013

Sibuk Bersyukur....







sibuk bersyukur membuat hati jauh lebih nyaman .... 

dan karunia pun bertambah 

sibuk banyak keinginan dunia membuat hati resah dan gelisah. 




Allah Ta’ala berfirman,



وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ 


“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". 


(QS. Lukman: 12)

whatever ......



whatever makes you feel bad .... leave it
whatever makes you feel good .... keep it 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu.
Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”

(HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”



اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran

( HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)