Laman

Jumat, 26 Agustus 2011

Ayah, Ibu… Biarkan Ananda Istiqomah



Penulis: Ummu Rumman
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman


Duhai, betapa indahnya jika kita bisa membahagiakan orang tua kita. Orang tua yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Orang tua yang telah mendidik dan merawat kita sedari kecil. Orang tua yang telah mengerahkan segala yang mereka punya demi kebahagiaan kita, anak-anaknya. Terima kasihku yang tak terhingga untukmu wahai Ayah Ibu.

Allah berfirman, yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.” (Qs. Al Israa’ 23)

Alangkah bahagianya seorang anak yang bisa menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan mendapatkan dukungan dari orangtuanya.

Akan tetapi, bagaimana jika orang tua melarang kita melakukan kebaikan berupa ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya? Keistiqomahan kita, bahkan bagaikan api yang menyulut kemarahan mereka.
Di antara mereka bahkan ada yang menyuruh pada perbuatan yang dilarang Allah? Bagaimanakah seharusnya sikap kita?

Jika teringat kewajiban kita untuk berbakti pada mereka, terlebih teringat besarnya jasa mereka, berat hati ini untuk mengecewakan mereka. Sungguh hati ini tak tega bila sampai ada perbuatan kita yang menjadikan mereka bermuram durja.


Kaidah Birrul Walidain

Saudariku, durhaka atau tidaknya seorang anak tetaplah harus dipandang dari kacamata syariat. Tak semua anak yang melanggar perintah orang tua dikatakan anak durhaka. Karena ketaatan pada orang tua tidak bersifat mutlak. Tidak sebagaimana ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang sifatnya mutlak.
Ada beberapa hal yang sering dianggap sebagai kedurhakaan pada orang tua, padahal sebenarnya bukan. Antara lain:

1. Anak menolak perintah orangtua yang melanggar syariat Islam

Pada asalnya, seorang anak wajib taat pada orangtuanya. Akan tetapi jika yang diperintahkan orang tua melanggar syariat, maka anak tidak boleh mentaatinya. Yaitu jika orang tua memerintahkan anak melakukan kesyirikan, bid’ah dan maksiat. Contoh konkritnya: orang tua memerintahkan anak memakai jimat, orang tua menyuruh ngalap berkah pada kyai A, orang tua menyuruh anak berjabat tangan dengan lelaki bukan mahrom, dll. Maka, saat sang anak menolak hal tersebut tidaklah dikatakan durhaka. Bahkan ini termasuk bakti kepada orang tua karena mencegah mereka dari perbuatan haram.

Allah berfirman yang artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Qs. Luqman: 15)

Namun, seorang anak hendaknya tetap menggunakan adab dan perkataan yang baik. Dan terus mempergauli dan mendakwahi mereka dengan baik pula.


2. Anak tidak patuh atas larangan orangtua menjalankan syariat Islam

Tidak disebut durhaka anak yang tidak patuh saat orangtuanya melarang sang anak menjalankan syariat Islam, padahal di saat itu orang tua sedang tak membutuhkannya (misal karena orang tua sedang sakit atau saat keadaan darurat). Contoh konkritnya: melarang anaknya shalat jama’ah, memakai jilbab, berjenggot, menuntut ilmu syar’i, dll.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah wajib mentaati makhluk yang memerintah agar maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad). Dan di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan pula bahwasanya ketaatan hanya dilakukan dalam perkara yang baik. Maka janganlah engkau melakukan perkara yang haram dengan alasan ingin berbakti pada orang tuamu. Tidak wajib bagimu taat pada mereka dalam bermaksiat pada Allah.


3. Orang tua yang marah atas keistiqomahan dan nasihat anaknya

Seorang anak wajib menasihati orang tuanya saat mereka melanggar syariat Islam. Apabila orang tua sakit hati dan marah, padahal sang anak telah menggunakan adab yang baik dan perkataan yang lembut, maka hal ini tidak termasuk durhaka pada orang tua.

Saat gundah menyapamu, …
Bagaimana ini, aku telah membuat orang tuaku marah? Padahal bukankah keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua (HR. Tirmidzi)?
Saudariku, marahnya orang tua atas keistiqomahan dan nasihat anak, tidaklah termasuk dalam hadits di atas. Hadits di atas tidak berlaku secara mutlak, kita tetap harus melihat kaidah birrul walidain.

Ingatlah saat Nabi Ibrahim menasihati ayahnya, “Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah.” (Qs. Maryam: 44). Orang tua yang menolak kebenaran Islam kemudian mendapat nasihat dari anaknya, kemungkinan besar akan marah. Tapi sang anak tetap tidak dikatakan durhaka.

Saudariku, bila orangtuamu marah atas keistiqomahanmu, maka ingatkan dirimu dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang membuat Allah murka karena ingin memperoleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka padanya. Dan siapa yang membuat Allah ridha sekalipun manusia murka padanya, maka Allah akan ridha padanya dan Allah menjadikan orang yang memurkainya dalam meraih ridha Allah itu akan ridha pula padanya, sampai-sampai Allah akan menghiasi si hamba dan menghiasi ucapan dan amalannya di mata orang yang semula murka tersebut.” (HR. Ath Thabrani)

Subhanallah. Perhatikanlah hadits di atas! Ketika engkau menaati orang tuamu dalam bermaksiat pada Allah, agar orang tuamu ridha. Sedangkan sebenarnya Allah Murka padamu. Maka, bisa jadi Allah justru akan membuat orang tuamu tetap murka pula kepadamu. Meski engkau telah menuruti keinginan mereka.
Dan sadarkah engkau, saat engkau menuruti mereka dalam perbuatan maksiat pada Allah, maka sejatinya perintah mereka akan terus berlanjut. Tidakkah engkau khawatir Allah akan murka pada orangtuamu disebabkan mereka terus memerintahkanmu bermaksiat kepada-Nya.

Saudariku, bukankah hati kedua orang tuamu berada di genggaman Allah. Maka, yang terpenting bagimu adalah berusahalah meraih ridha Allah dengan keshalihan dan keistiqomahanmu. Semoga dengan demikian Allah Ridha padamu. Semoga Allah menghiasi ucapan dan amalan kita sehingga orang tua kita pun -bi idznillah- akhirnya ridha kepada kita.


Akhlaq Mulia, Penarik Hati yang Banyak Dilalaikan

Ustadz Abdullah Zaen, Lc dalam bukunya 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah berkata, “Kerenggangan antara orangtua dan anak itu seringkali terjadi akibat ‘benturan-benturan’ yang terjadi dampak dari orang tua yang masih awam memaksa si anak untuk menjalani beberapa ritual yang berbau syirik, sedangkan si anak berpegang teguh dengan kebenaran yang telah ia yakini. Akhirnya yang terjadi adalah kerenggangan di antara penghuni rumah tersebut. Hal itu semakin diperparah ketika si anak kurang bisa mencairkan suasana dengan mengimbangi kesenjangan tersebut dengan melakukan hal-hal yang bisa membahagiakan orangtuanya. Padahal betapa banyak hati orang tua -bi idznillah- yang luluh untuk menerima kebenaran yang dibawa si anak bukan karena pintarnya anak beragumentasi, namun karena terkesannya sang orang tua dengan akhlak dan budi pekerti anaknya yang semakin mulia setelah dia ngaji!! Penjelasan ini sama sekali tidak mengecilkan urgensi argumentasi yang kuat, namun alangkah indahnya jika seorang muslim apalagi seorang salafi bisa memadukan antara argumentasi yang kuat dengan akhlak yang mulia!.”

Maka, akhlaq yang mulia adalah jalan terdekat menuju luluhnya hati orangtua. Anak adalah mutiara hati orang tua. Saat mutiara itu bersinar, hati orang tua mana yang tidak menjadi terang.
Percaya atau tidak. Kedekatanmu kepada mereka, perhatianmu, kelembutanmu, bahkan hanya sekedar wajah cerah dan senyummu di hadapan mereka adalah bagaikan sinar mentari yang menghangatkan hati mereka.

Sayangnya, banyak dari kita yang justru melalaikan hal ini. Kita terlalu sibuk dengan tuntutan kita karena selama ini orangtua-lah yang banyak menuruti keinginan kita. Seakan-akan hanya orangtua-lah yang wajib berlaku baik pada kita, sedang kita tidak wajib berbuat baik pada mereka. Padahal, kitalah sebagai anak yang seharusnya lebih banyak mempergauli mereka dengan baik.

Kita pun terlalu sibuk dengan dunia kita. Juga sibuk dengan teman-teman kita. Padahal orang tua hanya butuh sedikit perhatian kita. Kenapakah kita begitu pelit mengirimkan satu sms saja untuk menanyakan kabar mereka tiap hari? Sedangkan berpuluh-puluh SMS kita kirimkan untuk sekadar bercanda ria dengan teman kita.

Kemudian, beratkah bagi kita untuk menyenangkan mereka dengan hadiah? Janganlah engkau remehkan meski sekedar membawa pulang oleh-oleh seplastik singkong goreng kesukaan ayah atau sebungkus siomay favorit ibu. Harganya memang tak seberapa, tapi hadiah-hadiah kecil yang menunjukkan bahwa kita tahu apa kesukaan mereka, apa yang mereka tak suka, dan apa yang mereka butuhkan, jauh lebih berharga karena lebih menunjukkan besarnya perhatian kita.


Dakwahku, Bukti Cintaku Kepada Ayah Ibu…

Hakikat kecintaan kita terhadap seseorang adalah menginginkan kebaikan bagi dirinya, sebagaimana kita menginginkan kebaikan bagi diri kita sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sehingga dia mencintai bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, wujud kecintaan kita kepada orangtua kita adalah mengusahakan kebaikan bagi mereka.

Tahukah engkau kebaikan apa yang dimaksud?
Seorang ayah telah berbuat baik kepada anaknya dengan pendidikan dan nafkah yang diberikan. Sedangkan ibunya telah merawat dan melayani kebutuhan anak-anaknya. Maka sudah semestinya anaknya membalas kebaikan tersebut. Dan sebaik-baik kebaikan adalah mengajak mereka kepada kebahagiaan dan menyelamatkan mereka dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu.” (Qs. At Tahrim 6)

Saudariku, jika engkau benar-benar mencintai orangtuamu, maka jadikanlah dakwahmu sebagai bakti terindahmu kepada mereka. Ingatlah lagi mengenai dakwah Nabi Ibrahim kepada orangtuanya. Bakti pada orang tua sama sekali tidak menghalangi kita untuk berdakwah pada mereka. Justru karena rasa cintalah, yang membuat kita menasihati mereka. Jika bukan kita, maka siapakah lagi yang akan mendakwahi mereka?

Apakah harus dengan mengajak mereka mengikuti kajian? Jika bisa, alhamdulillah. Jika tidak, maka sesungguhnya ada banyak cara yang bisa engkau tempuh agar mereka bisa mengetahui ilmu syar’i dan mengamalkannya.

Jadilah engkau seorang yang telaten dan tidak mudah menyerah dalam berdakwah kepada orang tuamu.
Ingatlah ketika engkau kecil. Ketika engkau hanya bisa tidur dan menangis. Orangtuamulah yang mengajarimu, mengurusmu, memberimu makan, membersihkanmu dan memenuhi kebutuhanmu. Ketika engkau mulai merangkak, kemudian berdiri, dengan sabar orangtuamu memegang tanganmu dan melatihmu. Dan betapa senangnya hati orangtuamu melihat langkah kaki pertamamu. Bertambah kesenangan mereka ketika engkau berjalan meski dengan tertatih-tatih. Saat engkau telah bisa berlari-lari, pandangan orangtuamu pun tak lepas darimu. Menjagamu dari melangkah ke tempat yang berbahaya bagimu.

Ketika engkau mulai merasa letih berdakwah, ingatlah bahwasanya orangtuamu telah membesarkanmu, merawatmu, mendidikmu bertahun-tahun tanpa kenal lelah.

Ya. Bertahun-tahun mereka mendidikmu, bersabar atas kenakalanmu… Maka mengapakah engkau begitu mudahnya menyerah dalam berdakwah kepada mereka? Bukankah kewajiban kita hanyalah menyampaikan, sedangkan Allah-lah Yang Maha Pemberi Hidayah. Maka teruslah berdakwah hingga datang waktunya Allah Membuka hati kedua orangtua kita.


Landasi Semuanya Dengan Ilmu

Seorang anak dengan sedikit ilmu, maka bisa jadi ia akan bersikap lemah dan mudah futur (putus asa) saat menghadapi rintangan dari orangtuanya yang sudah banyak makan garam kehidupan. Bahkan, ia tidak bisa berdakwah pada orang tuanya. Sedangkan seorang anak yang ilmunya belum matang, bisa jadi ia bersikap terlalu keras. Sehingga orangtuanya justru makin antipati dengan dakwah anaknya.

Maka, bekalilah dirimu dengan ilmu berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman salafush shalih. Karena dengan ilmulah seorang mampu bersikap bijak, yaitu mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Dengan ilmulah kita mengetahui hukum dari permasalahan yang kita hadapi dan bagaimana solusinya menurut syariat. Dengan ilmulah kita mengetahui, pada perkara apa saja kita harus menaati orang tua. Pada perkara apa sebaiknya kita bersikap lembut. Dan pada perkara apakah kita harus teguh layaknya batu karang yang tetap berdiri tegak meski berkali-kali dihempas ombak. Dan yang tidak kalah pentingnya kita bisa berdakwah sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Maka tidak benar jika saat terjadi benturan sang anak justru berputus asa dan tidak lagi menuntut ilmu syar’i. Padahal dia justru sangat butuh pada ilmu tersebut agar dapat menyelesaikan permasalahannya. Saat terjadi konflik dengan orang tua sehingga engkau kesulitan mendatangi majelis ilmu, usahakanlah tetap menuntut ilmu meski hanya sekedar membaca buku, mendengar rekaman kajian atau bertanya kepada ustadz. Dan segeralah kembali ke majelis ta’lim begitu ada kesempatan. Jangan lupa! Niatkanlah ilmu yang kau cari itu untuk menghilangkan kebodohan pada dirimu dan orang lain, terutama orangtuamu. Karena merekalah kerabat yang paling berhak atas dakwah kita.

Karena itu, wahai saudariku…

Istiqomahlah!

Dan bingkailah keteguhanmu dengan ilmu dan amal shalih

Hiasilah dirimu di depan orangtuamu dengan akhlaq yang mulia

Tegar dan sabarlah!

Tegarlah dalam menghadapi rintangan yang datang dari orangtuamu.

Dan sabarlah dalam berdakwah kepada orang tuamu

Tetap istiqomah dan berdakwah. Sambil terus mendoakan ayah dan ibu

Hingga saat datangnya pertolongan Allah…

Yaitu saat hati mereka disinari petunjuk dari Allah

insyaa Allah


Teriring cinta untuk ibu dan bapak…

Semoga Allah Mengumpulkan kita di surga Firdaus-Nya. Amiin.



Maraaji’:
  1. Durhaka kepada orang Tua oleh ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron, majalah Al Furqon edisi 2 Tahun IV
  2. 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah, Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
  3. Kajian Bahjah Qulub Al Abror oleh ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, tanggal 4 November 2007
***
Artikel www.muslimah.or.id

Kamis, 18 Agustus 2011

Es Teler





 Es teler untuk berbuka .... hmmmm  segerrrr .... yuk bikin sendiri aja di rumah ...



 Bahan Es Teler :
  • kolang-kaling manis 10 buah, potong-potong
  • nangka iris 1 sendok makan
  • alpukat kerok 3 sendok makan
  • kelapa muda kerok 2 sendok makan
  • sirup merah 3 sendok makan
  • susu kental manis putih secukupnya
  • es serut secukupnya
Cara Membuat Es Teler :
  1. Siapkan gelas, masukkan kolang-kaling, nangka, alpukat dan kelapa muda.
  2. Tuang sirup merah dan susu kental manis putih.
  3. Sajikan bersama es serut.
Untuk 1 gelas

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk



Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.


Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.”

(Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))


Tingkatan Takdir 

Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.


Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)

Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.

Allah Ta’ala telah berfirman,
ألم تعلم أن الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى كتـب ۚإن ذلك على الله يسر

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)


وعنده, مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ۚ ويعلم ما فى البر والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يا بس إلا فى كتب مبين

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)


إن الله بكل شيء عليم
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)


Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)

Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.

Allah Ta’ala berfirman,
و كل شيء أحصينه فى إمام مبـين

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
  (Qs. Yaasiin: 12)


ما أصاب من مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كـتب من قبل أن نبرأهاۚۚإن ذلك على الله يسر

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)


Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كتب الله مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة

“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))

Dalam sabdanya yang lain,

إن أول ما حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’”
(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)


Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.


Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)

Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,

لايسئل عما يفعل وهم يسئلون

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.”
(Qs. Al-Anbiyaa’: 23)

Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya
.
Allah Ta’ala berfirman,
فمن يردالله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ۚومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقاحرجا

Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إن قلوب بني أدم كلها بين إصبعـين من أصا بع الرحمن, كـقلب وا حد, يصرفه حيث يشاء

“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)


Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)

Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الله خـلق كل شىء ۖوهو على كل شىء وكيل

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)

Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya.

Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
والله حلقكم وما تعملون

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)

Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)


Hikmah Beriman Kepada Takdir

Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.

Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.

Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita.

Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إحرص على ما ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز, فإن أصا بك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن كذا وكذا, ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل, فإن (لو) تفتح عمل الشيطان

“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))

Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.

Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.

Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
وتوكل على الله ۚ إنه هو السميع العليم

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)

ومن يتو كل على الله فهو حسبه
“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.”
( Qs. Ath-Thalaq: 3)

Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,
إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصيبة بى, فإنها من أعظم المصائب

“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))

Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.


Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.

Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

SOES GORENG DURIAN




Minum segelas teh manis hangat dengan camilan sus goreng durian. Wah... pasti nikmat banget!

bahan-bahan/bumbu-bumbu :
50 gram margarin
125 ml air
1/2 sendok teh garam
1/2 sendok makan gula pasir
175 gram tepung terigu protein sedang
1/2 sendok teh baking powder
100 gram daging durian, diblender halus
3 butir telur
25 gram gula tepung untuk taburan
minyak untuk menggoreng

Cara Pengolahan :
  1. Rebus margarin, air, garam, dan gula pasir sampai mendidih. Masukkan tepung terigu. Aduk sampai kalis. Angkat. Dinginkan.
  2. Tambahkan baking powder, daging durian, dan telur satu per satu sambil dikocok rata.
  3. Sendokkan ke minyak yang sudah dipanaskan dengan api sedang berbentuk bola sampai matang.
  4. Sajikan dengan gula tepung.
Untuk 30 buah

Makaroni Panggang




Makaroni enak di olah menjadi aneka masakan, baik di tumis, sup, ataupun dipanggang. berikut ini resep macaroni panggang:


Bahan - bahan :

  1. 1 (227gr) bungkus makaroni
  2. 1/2 kaleng corned beef
  3. 50 gr mentega
  4. 50 gr bawang bombay
  5. 50 gram tepung terigu
  6. 3 butir telur dikacau sebentar
  7. 125 gr keju parut/parmesan
  8. 100 gr daging asap potong korek api
  9. 500 cc susu
  10. 1/2 sdt pala halus
  11. 1/2 sdt merica halus
  12. 1 sdt garam

 

Cara membuat:

  • Didihkan air dengan sedikit garam, rebus makaroni sampai matang. tiriskan, siram dengan air dingin dan beri sedikit mentega supaya tidak saling melekat
  • Tumis bawang bombay sampai layu, masukkan tepung terigu aduk rata
  • Tuangi susu, didihkan sambil diaduk hingga licin
  • Masukkan corned beef, 100 gr keju parut, daging asap dan makaroni, aduk rata. bubuhkan garam, pala, dan merica aduk dan angkat dari api
  • Masukkan telur campur rata
  • Tuang ke dalam pinggan tahan panas yang sudah diolesi margarin. ratakan, taburi dengan sisa keju parut
  • Panggang dalam oven panas bersuhu 180 °C selama 35 menit hingga permukaan
  • makaroni kuning kecokelatan

Tunduk Pada Kebenaran



Penyusun: Ummu Hafidz D
Muroja’ah: Ust. Abu Salman



Saudariku,

Bagaimana sikap kita jika mendapatkan teguran dari orang lain saat kita melakukan kesalahan? Apakah kita menerimanya begitu saja mengingat dia orang yang kita segani atau takuti, atau mungkin kita justru merasa sebal dan terhina karena peringatan itu datang dari orang yang tidak kita sukai atau kita anggap lebih rendah dari kita? Ataukah kita justru merasa cuek dengan segala kesalahan dan peringatan yang ditujukan kepada kita, karena merasa bahwa hidup kita adalah milik kita sepenuhnya?

Teguran yang baik adalah yang menghendaki kita untuk kembali ke kebenaran. Sementara kebenaran itu hanya satu, yaitu yang datang dari Allah dan RosulNya. Alangkah jahil dan berdosanya kita jika tidak tahu hakikat kebenaran. Oleh karena itulah menuntut ilmu syar’i diwajibkan bagi kita, agar kita mengetahui dan kita tidak terjerumus pada kesalahan (kejelekan) yang boleh jadi menurut pendapat kita itu justru sebuah kebenaran (kebaikan).


Setiap Kita Akan Diminta Bertanggung Jawab

Sadarilah Saudariku,

Allah Ta’ala memberikan kepada kita anggota tubuh untuk bergerak, akal untuk berpikir, ini semua kenikmatan yang harus disyukuri, dengan cara menggunakannya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, dan beraktifitas keduniawiaan yang bermanfaat dalam kebaikan. Ingatlah firman Allah Ta’ala,
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)

Hendaknya kita berhati-hati dalam berucap dan berbuat, karena semua pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di akhirat. “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)

Dan balasan yang disediakan oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak sesuai dengan amalnya di dunia. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ar-Ra’du:18)


Mengikuti Kebenaran Bukan Berdasarkan Pada Pembawanya, Tapi Pada Apa Yang Dibawanya

Abu Yazid bin Umairah, yakni salah seorang sahabat Muadz bin Jabal, pernah menceritakan, “Setiap kali Muadz bin Jabal duduk dalam satu majlis, ia pasti berkata, ‘Allah adalah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Adil, sungguh Maha Suci Allah. Binasalah orang-orang yang meragu’. Lalu ia menceritakan hadits tersebut, di mana di dalamnya disebutkan, ‘Aku pernah bertanya kepada Muadz, ‘Apa pendapatmu tentang seorang hakim yang telah memutuskan perkara dengan salah ?’ Beliau menjawab, ‘Begini, bila pendapat hakim jelas-jelas salah tanpa ada keraguan, maka jangan diikuti, namun janganlah hal itu membuatmu berpaling darinya. Karena mungkin saja ia meralat ucapannya dan mengikuti yang benar apabila ia telah mengetahuinya. Sesungguhnya kebenaran itu membawa cahaya’.”

Dari Abdurrahman bin Abdulah bin Mas’ud, dari ayahnya diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, ajarkan padaku beberapa kata yang sederhana dan padat lagi berguna.” Abdullah berkata, “Janganlah engkau menyekutukanNya dengan sesuatu pun, berjalanlah seiring dengan ajaran al Qur’an ke manapun engkau mengarah, dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah, meskipun ia orang yang jauh yang engkau benci, dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, tolaklah, meskipun ia adalah kerabat yang engkau cintai.”


Mayoritas Bukan Berarti Benar

Tahukah Saudariku,

Setiap hal yang kita anggap benar, dan juga dianggap benar oleh kebanyakan orang (mayoritas), tidaklah selalu benar dalam timbangan syari’at, karena kebenaran tidak diukur dengan pertimbangan hawa nafsu, akal (ra’yu), ataupun diukur dari pendapat mayoritas (jumhur, demokrasi), sehingga Allah Ta’ala pun mengingatkan kita dalam firmanNya,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)

Dari Abdurrahman bin Yazid diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Abdullah berkata, ‘Janganlah kamu sekalian menjadi imma’ah.’ Orang-orang yang hadir bersama beliau bertanya, ‘Apakah arti imma’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu sikap orang yang menyatakan, ‘Saya ikut dengan kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).’ Ingatlah, hendaknya masing-masing di antara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur.”


Mengikuti Kebenaran Dengan Mengetahui Hujjahnya, Tidak Dengan Taklid Buta

Saudariku,

Sangat penting bagi kita untuk mengetahui dasar dari setiap hal yang akan kita lakukan, dan tidak hanya mengikuti begitu saja (taklid) apa yang dikatakan dan diperbuat oleh orang lain. Karena masing-masing kita di akhirat nanti akanbertanggung jawab kepada Allah, bukan kepada kebanyakan orang tersebut. Para ulama’ pun sangat berhati-hati dalam hal ini.

Mutharrif telah menceritakan, “Kami telah mendatangi Zaid bin Shuhan. Beliau kala itu berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, milikilah sifat mulia dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya sarana para hamba mendapatkan keridhaan Allah hanya dua hal: rasa takut dan rasa tidak puas.” Suatu hari, aku menemui beliau. Kala itu orang-orang telah menulis surat kepadanya yang isinya: 

“Sesungguhnya Allah adalah Rabb kita, Muhammad adalah Nabi kita, al-Qur’an adalah imam kita, barangsiapa yang sependapat dengan kami, maka kami dan mereka adalah sama. Dan barangsiapa tidak sependapat dengan kami, tangan kami akan bertindak atas mereka. Kami adalah kami.” 

Diceritakan, bahwa beliau menyodorkan surat itu kepada teman-temannya satu persatu sambil bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya?” Hal itu terus beliau lakukan, hingga sampai kepadaku. Beliau bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya wahai anakku?” Aku menjawab, “Tidak.” Zaid berkata, “Janganlah kalian terburu-buru menyikapi anak ini. Apa pendapatmu wahai anakku?” Aku menjawab, “Sesungguhnya saya tidak akan menerima perjanjian selain perjanjian yang telah Allah ambil atas diriku.” Maka orang-orang itu pulang semuanya, setelah jatuh pertanyaan kepada orang terakhir, dan akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang menyetujui perjanjian itu. Padahal mereka adalah orang-orang terhormat yang berjumlah tiga puluh orang.”


Saudariku,

Setiap manusia di dunia ini (kecuali Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang maksum) adalah makhluk yang pasti mempunyai kesalahan yang terkadang tidak kita sadari, sehingga kita pun wajib untuk terus belajar agama agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan tersebut.

Dari Abul Ahwash, dari Abdullah diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Janganlah seorang itu bertaklid kepada orang lain dalam urusan diennya, yang apabila orang lain itu beriman, ia ikut beriman dan bila orang itu kafir maka ia pun ikut kafir. Kalaupun kita harus bertaklid, hendaknya kita bertaklid kepada (tauladan) yang sudah mati (maksudnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam). Karena orang yang masih hidup, masih belum dijamin selamat dari petaka.”


Kebenaran Hanya Datang dari Al Qur’an dan Sunnah

Terbukalah Saudariku,

Para ulama selalu bersikap jujur dan rendah hati terhadap kebenaran yang mereka terima. Mereka tidak menyuruh orang lain untuk mengikuti pendapatnya dengan taklid buta, tapi mereka menghendaki orang lain untuk tidak mengikuti pendapatnya jika itu memang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah.

Ar Rabi’ menceritakan, “Aku pernah mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘Apabila dalam bukuku kalian mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan sunnah Rosulullah, maka ambillah sunnah itu sebagai pegangan, dan tinggalkan apa yang aku katakan.”

Juga dari Ar Rabi’, “Aku pernah mendengar Syafi’i ditanya oleh seorang laki-laki, ‘Apakah engkau berpendapat dengan hadist yang engkau sebutkan itu wahai Abu Abdillah?’ Beliau menjawab, ‘Apabila aku meriwayatkan hadits, lalu tidak kujadikan sebagai pendapatku, saya jadikan kalian semua sebagai saksi, bahwa akalku sudah hilang’.”

Al Humaidi menceritakan, “Suatu hari Imam Syafi’i meriwayatkan hadist. Aku lantas bertanya, ‘Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatmu?’ Beliau menjawab, ‘Apakah engkau melihat aku sedang keluar dari gereja atau aku tengah mengenakan sabuk simbol Ahli Kitab, sehingga ketika aku mendengar dari Rosulullah satu hadist, tak kujadikan sebagai pendapatku?’”

Ar Rabi’ pernah menceritakan, aku pernah mendengar Syafi’i menyatakan, “Langit mana lagi tempat aku berteduh, dan bumi mana lagi tempat aku berpijak, apabila aku meriwayatkan hadist Rosulullah lalu tidak kujadikan sebagai pendapatku?”

Adz Dzahabi menceritakan, “Dalam Musnad Syafi’i disebutkan riwayat dengan sima’i (dengan cara mendengar), Abu Hanifah bin Samak telah mengabarkan kepada saya, Ibnu Abi Dzi’bin telah memberitakan kepada kami, dari al Maqburi, dari Abu Syuraih, bahwa Rosulullah bersabda, “Barangsiapa terbunuh sanak familinya, ia memiliki salah satu dari dua pilihan: kalau suka, ia bisa meminta qishash, kalau suka ia juga bisa mengambil diyat (uang ganti rugi).” Aku bertanya kepada Ibnu Abi Dzi’bin, “Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatmu?” Beliau memukul dadaku sambil berteriak keras sampai membuatku kesakitan, sambil berkata, “Apakah layak apabila aku menyampaikan hadist Rosulullah kepadamu, lalu engkau bertanya kepadaku, “Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatku?” Jelas aku menjadikannya sebagai pendapatku, dan itu adalah kewajiban atas diriku dan atas setiap orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Allah memilih Muhammad dari kalangan manusia lalu melalui beliau Allah memberi petunjuk kepada mereka melalui kedua tangan beliau. Maka satu kewajiban atas umat manusia untuk mengikuti beliau dengan penuh ketaatan dan penuh ketundukan. Tak ada jalan lain bagi seorang muslim.”


Abul ‘Aina telah menceritakan kepada kami, “Tatkala al Mahdi berhaji, beliau memasuki masjid Rosulullah. Setiap orang yang ada bersama beliau berdiri (sebagai penghormatan), kecuali Ibnu Abi Dzi’bin. Maka Musayyab bin Zubair berkata, ‘Berdirilah. Itu Amirul Mukminin.’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya manusia hanya oleh berdiri menghormat kepada Rabbul ‘alamin.’ Al Mahdi lalu berkata, ‘Biarkan dia. Seluruh rambut di kepalaku sudah berdiri semua’.”

Perhatikanlah sikap ulama dan kerendahan hati mereka dalam menerima kebenaran dan teladanilah mereka. Karena tidaklah seorang mukmin diperkenankan untuk menghukumi sesuatu serta beramal sebelum ia mengetahui dalilnya dari Qur’an dan Sunnah, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”


Kebenaran Bukanlah dari Hawa Nafsu

Saudariku,

Tanyakanlah lagi pada hati kecil kita, benarkah kita ini mukmin, sudah benarkah cara kita beriman, kemudian tanyakan lagi, apakah keimanan kita itu sudah seperti apa yang diinginkan Allah. Karena jika hati kita masih merasa tidak cocok/’sreg’ dengan syari’at yang kita terima (terasa ada penolakan dan keraguan dalam hati kita), maka kita harus berhati-hati jangan sampai kita menjadi orang yang munafik yang disebutkan dalam firman Allah,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
 

Saudariku,

Jadikanlah hati kita ini hati yang hidup, hati yang sehat, hati yang selamat, yang jika ia mendengar suatu perintah agama (syari’at) sesuai Al Qur’an dan As Sunnah, maka ia melaksanakan tanpa menanyakan sebabnya, begitu juga saat mendengar ada larangan syari’at. Janganlah kita menimbang-nimbang, jika nanti perintah/larangan itu menguntungkan kita, maka kita akan patuh padanya. Jika ini yang kita lakukan, maka ketundukan kita terhadap kebenaran bukanlah karena mencintai Allah dan RosulNya, tapi karena hawa nafsu, dan ini termasuk syirik, karena kita beramal bukan karena Allah.

Berusahalah untuk melakukan kebenaran tersebut. Jika kita belum mampu melakukannya, maka setidaknya kita tidak menolaknya, tapi tanamkan dalam hati bahwa ‘inilah yang paling benar, yang akan dapat menyelamatkanku’ dan berusahalah semampunya untuk belajar mengamalkannya sedikit demi sedikit sehingga tidak ada lagi penolakan dalam hati kita dan kita dapat dengan ringan mengamalkannya.

Dari Syafi’i diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Setiap orang yang membangkang dan menentangku ketika aku melakukan kebenaran, akan kupandang sebelah mata. Dan setiap yang menerima kebenaran itu, pasti aku segani dan aku yakin bahwa aku mencintainya.”

Diriwayatkan bahwa Hatim al Ashan berkata, “Aku senang bila orang yang mendebat diriku ternyata dia benar. Sebaliknya aku bersedih kalau orang yang mendebat diriku ternyata keliru.”

Demikianlah Saudariku,

Sikap para ulama dalam menerima kebenaran. Hendaknya kita sebagai tholabul ‘ilmi juga mengikuti jejak para pewaris Nabi tersebut, sehingga sikap kita ini akan menyelamatkan diri kita dari kesesatan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan kejahilan kita.


Maraji’: Belajar Etika dari Generasi Salaf (Abdul Aziz bin Nashir al Jalil Bahauddinin Fatih Uqail)

***

Artikel www.muslimah.or.id

Selasa, 16 Agustus 2011

Jalan Terdekat Menuju Surga




Bismillahirrahmanirrahim

Surga…negeri indah yang jauh di mata, tapi setiap jiwa mengharapkannya. Ada yang berusaha sungguh-sungguh, ada pula yang jatuh bangun untuk mendapatkannya. Tapi…adapula yang putus asa, sehingga membiarkan dirinya tenggelam dalam kubangan dosa. Mengapa? Karena, ia merasa jalan ke surga itu sulit, melelahkan serta banyak rintangan.



Sungguh, wahai kawan yang hampir putus asa, atau telah berputus asa, dan kawan-kawan yang tak ingin berputus asa, telah ku dapati percakapan penuh nasehat dalam tulisan yang singkat, tentang jalan paling mudah dan dekat menuju surga…

Inilah percakapan yang ku maksud…

Si Fulan bertanya pada temannya,
“Wahai saudaraku tercinta! Apakah engkau menginginkan surga?”

Temannya menjawab,
“Siapakah dari kita yang tidak ingin masuk surga? Siapa di antara kita yang tak ingin mendapatkan kenikmatan yang kekal abadi? Dan siapakah di antara kita yang tak ingin merasakan kesenangan yang kekal, serta kelezatan-kelezatan yang terus menerus, yang tak kan lenyap dan tak pula terputus?”

Si Fulan berkata,
“Kalau begitu…maka mengapa engkau tak beramal shalih yang dapat menyampaikanmu ke surga?”

Temannya menjawab,
“Sesungguhnya jalan ke surga itu sulit, panjang, penuh rintangan dan duri. Sedangkan diriku ini lemah, tak dapat aku bersabar atas kesulitan dan kesusahan yang terdapat di jalan itu.”

Si Fulan berkata,
“Saudaraku…jika engkau merasa tidak dapat bersabar dalam mentaati perintah-perintah Allah, serta bersabar untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat selama di dunia, lalu bagaimana engkau akan bersabar jika nanti di akhirat engkau menjadi penghuni neraka Jahannam?! semoga Allah melindungi aku darinya.”

Temannya menjawab,
“Inilah yang mempengaruhiku dan menjadikanku bimbang dalam urusanku. Akan tetapi, aku tidak mengetahui apa yang harus kulakukan dan dari mana aku harus memulainya…. Dan sungguh aku telah terlanjur terjerumus ke jalan maksiat dan hal-hal yg diharamkan.”

Si Fulan berkata,
“Aku akan menunjukkan padamu jalan pintas yang akan menyampaikanmu ke surga. Dan jalan ini adalah jalan yang mudah, tidak ada kesulitan maupun usaha yang berat di dalamnya.”

Temannya berkata,
“Tunjukkan padaku jalan itu, semoga Allah merahmatimu. Sungguh aku selalu ingin memngetahui jalan yang mudah itu.”

Si Fulan berkata,
“Jalan yang dimudahkan ini, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Al-Fawaaid”, dimana beliau berkata, 

’Marilah masuk ke surga Allah…serta berdekatan denganNya di Negeri Keselamatan…tanpa ada letih…tanpa ada kesulitan…dan tanpa ada susah payah…bahkan melalui jalan yang terdekat dan yang termudah…’

’Sesungguhnya, engkau saat ini sedang berada pada satu masa di antara dua masa…dan pada hakikatnya masa itu adalah umurmu…yaitu dimana saat ini engkau ada…di antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang…’

’Adapun masa yang telah lalu…maka ia diperbaiki dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun…dan itu bukanlah sesuatu yang sulit bagimu…serta tidak memerlukan amal-amal yang berat…karena sesungguhnya ia hanyalah amalan hati…’

’Dan pada masa yang akan datang…berusahalah menjauhi dosa-dosa…
dan usahamu untuk menjauhi dosa itu adalah hanya berupa usaha untuk  meninggalkan dan bukanlah ia merupakan amalan anggota badan yang menyusahkanmu karena sesungguhnya ia hanyalah berupa kesungguhan serta niat yang kuat…yang akan menyenangkan jasadmu, hatimu serta rahasia-rahasiamu…’

“Apa yang terjadi pada masa lalu, diperbaiki dengan taubat…dan di masa mendatang diperbaiki dengan penghindaran (dari yang haram) dengan kesungguhan serta niat… dan tidak ada kesusahan bagi anggota tubuh atas dua usaha ini.”

“Akan tetapi, yang terpenting dalam masa kehidupanmu adalah masa di antara dua masa (yaitu dimana saat ini engkau berada). Jika engkau menyia-nyiakannya maka engkau telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesanmu. Namun, jika engkau menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudahnya, dengan cara yang telah disebutkan…maka engkau akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan…”

Maka, inilah jalan ke surga yang mudah itu….

Bertaubat atas apa yang telah lalu kemudian beramal sholeh serta meninggalkan maksiat pada masa yang akan datang.

Si Fulan menambahkan,
Dan kusampaikan pula padamu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” maka shahabat bertanya, siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga dan siapa yang tidak taat padaku maka ialah yang enggan” (HR Al-Bukhari)

Dan juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian dibandingkan dekatnya tali sendalnya terhadapnya, demikian pula dengan neraka.” (Muttafaqun ‘alaih).



***

Diterjemahkan dari Buletin Aqrabuthariq Ilal Jannah, Edisi 131, Madarul Wathan, Riyadh, KSA oleh Tim Penerjemah Muslimah.or.id
Murojaah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

***

Artikel muslimah.or.id

Ruginya Tidur Setelah Subuh




Bismillah, wasshalatuwassalaamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi waman tabi’ahu biihsan ila yaumiddiin…


Ramadan telah tiba kita bersyukur kepada Allah ta’ala karena diberi kesempatan untuk bertemu dengan  bulan yang mulia ini dan menimba pahala yang banyak di dalamnya, karena itu, hendaknya kita manfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin. Hanya saja ada satu kebiasaan buruk yang menjamur, terutama di bulan Ramadhan. Kebiasaan itu adalah tidur di waktu pagi. Ada banyak hal yang menjadi sebab kita tidur pagi. Diantaranya karena sebagian kita tidak terbiasa bangun untuk sahur atau karena sahur terlalu dini di tengah malam atau karena makan sahur terlalu banyak, dan sebab lainnya. Lalu  apakah kerugian tidur diwaktu pagi? Mari kita simak  tulisan barikut.

  • Kehilangan barakah pagi hari
Sebagaimana terdapat dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Abu Daud dan lainnya dari hadis Sakhr bin Wada’ah al Ghamidi radliyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ya Allah berikanlah berkah kepada umatku di pagi hari mereka”. Ini adalah doa yang agung yang  Rasulullah panjatkan agar umatnya memberi perhatian yang besar kepada waktu pagi.¹

  • Bisa ketinggalan waktu shalat subuh
Tidak sedikit dari kita tidur setelah sahur sehingga hal ini bisa menyebabkan ketinggalan jamaah shalat subuh (bagi laki-laki) atau bahkan kehilangan waktu shalat subuh.

  • Menyelisihi kebiasaan para salaf
Sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.
Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi

Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa  seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].

Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh  mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.

Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui kemudian mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” (HR Muslim).

Skakhr al Ghamidi mengatakan, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.

Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak. Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.²

  • Membuat malas dan melemahkan badan
Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur, beliau menyatakan bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu. Beliau rahimahullah mengatakan, : “Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan. Tidur pagi juga Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.³

  • Pagi adalah waktu dibaginya rizki
Imam Ibnul Qayyim mengatakan dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, bahwasannya orang yang tidur di pagi hari akan menghalanginya dari mendapatkan rizki. Karena waktu subuh adalah waktu di mana makhluk mencari rizkinya, dan pada waktu tersebut Allah membagi rizki para makhluk.

Dan beliau menukil dari Ibn ‘Abbas radliyallahu ‘anhu bahwasannya dia melihat anaknya tidur di waktu pagi maka ia berkata kepada anaknya ‘bangunlah engkau! Apakah kamu akan tidur sementara waktu pagi adalah waktu pembagian rezki? ¹

Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang shalih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barakah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah).³


Semoga Allah selalu memberi taufiq dan hidayahnya kepada kita semua.

Wa shallaatu wassalaam ‘ala anbyai wal mursaliin wal hamdulillahi rabbil ‘aalamiin
***
muslimah.or.id
Penulis: Ismiati Ummu Maryam
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’ :
  1. Syaikh prof. ‘Abdurrazaaq al-Badr, syarah  hadist doa subuh. Mp3
  2. Tegar diatas Sunnah, blog Ustadz Aris Munandar. Hukum tidur setelah subuh
  3. mengenal ajaran islam lebih dekat,disusun oleh Muhammad ‘Abduh Tuasikal.ST. Kebiasaan tidur pagi ternyata berbahaya

Kamis, 11 Agustus 2011

Jurus Jitu Mendidik Anak




Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A
 
Prolog 

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.


Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.


Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari  format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!


JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU

Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.

Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.

Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.

Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan
kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang
kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian,
ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu apa saja yang dibutuhkan?

Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.

Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya.

Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.)


Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. (HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.)

Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?

Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,

“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. 
(HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.)

Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.


Ayo belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!


JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA

Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. 

Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.

Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.


Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak

Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!

Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. 

Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!


Beberapa contoh aplikasi nyatanya

Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.

Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!

Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!

Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!


Sebuah renungan penutup

Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.

Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!

Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??

Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.

Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…


JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN 

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.

Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.

Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
  • Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan.                                                                Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
  • Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur.                                                                       Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
  • Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala.                                                   Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.  Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.   Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!

Mulailah dari sekarang!

Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.

Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.

Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…


JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.

Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh aplikasi kesabaran 

Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak.

Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya, “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”.( HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.)  
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama. 

Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak.
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.
Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!

Sabar menjadi pendengar yang baik.
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan.
Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah.
Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik.  Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan. 


Sabar manakala emosi memuncak.
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. 
Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.
Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke hulu
Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

  JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya!

Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.


Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” 
 (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.


Seberapa besar sih kekuatan doa?

Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala.

Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,


“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. 
( HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.)


Sejak kapan kita mendoakan anak kita?

Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,


“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”.
[HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.]


Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,

"Wahai Rabbi anugerahkan kepada aku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. [QS. Ash-Shâffât: 100.]
  Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,

“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. 
[QS. Ali Imran: 38.]

Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.


Awas, hati-hati!

Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.

Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.



Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Artikel www.tunasilmu.com dan dipublikasikan kembali oleh salafiyunpad.wordpress.com

Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr (V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435).
Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-I’tiqâd (hal. 183).