Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Radhiyallahu 'anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam  hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya  menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak  masuk akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang  diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa,  menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan  seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk  kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik  kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin  Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut  syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah  berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan  perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan  manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah  marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci  adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan  orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
"Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan  perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang  berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab)  yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta  menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu  seburuk-buruk tempat kembali". [al-Fath/48 : 6] [2]
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat  disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala sangat marah yang belum  pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun  sesudahnya.[3]
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi  Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh  menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
"…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat" [asy-Syûrâ/42 : 11]
Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat  yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan  manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada  yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena  Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan  ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang  dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau marah  karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka  beliau marah. 
Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissalam [4] dan  marahnya Nabi Yunus Alaihissalam [5]. Adapun yang tercela apabila  dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena  marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada  kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah  adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak  rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu  kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad  rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik  adalah dengan meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,  “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau  mengandung dua hal.
Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah perintah  untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa  dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri  dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan  akhlak-akhlak baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang  mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah,  pada saat timbul berbagai sebabnya.
Kedua. Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan  melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan  dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang  diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka  amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
"Dan setelah amarah Musa mereda… " [al-A’râf/7 : 154]
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang  diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan  amarah dapat tercegah darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang  dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
"… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf" [asy-Syûrâ/42 : 37]
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
"…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan  memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat  kebaikan" [Ali ‘Imrân/3 : 134]
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk  melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan  beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi  wa sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ  بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika  ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya  (amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang  terkutuk)". Para sahabat berkata, "Tidakkah engkau mendengar apa yang  dikatakan Rasulullah?" Laki-laki itu menjawab, "Aku bukan orang  gila".[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
"Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui" [al-A’râf/7 : 200]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar  orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu 'alaihi  wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
"Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan  berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka  itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring" [7].
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk  balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang  orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang  amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan  lisan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan  apabila seseorang marah hendaklah ia diam, beliau Shallallahu 'alaihi wa  sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
"Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam" [8].
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah,  karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang  kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak  negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang.  Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah  orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah.  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
"Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat,  tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya  ketika marah". [9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan  tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, beliau Shallallahu  'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ  يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ  يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ  مَا شَاءَ.
"Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu  melakukannya, pada hari Kiamat Allah  akan memanggilnya di hadapan  seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang  ia sukai" [11].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
"Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga" [12].
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah  keinginannya itu sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah  Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang  baik sehingga ia diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu  untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau  balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,  sebagaiman Allah Ta’ala berfirman:
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa  mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan  menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati  orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka  (orang Mukmin)… " [at-Taubah/9 : 14-15]
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam, beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada  hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang  sanggup menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul  pembantu dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan  tangan beliau ketika berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha ditanya tentang akhlak  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak  beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab  Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan  Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa  sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci,  bahkan ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana  diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit.  Apabila beliau melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di  wajah beliau.”[14]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi tahu  Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini  tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa  berat bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan beliau  Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.
"Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar" [15].
Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah Azza wa Jalla murka,  maka beliau marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah  memasuki rumah ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan melihat tirai yang  terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan  beliau merobeknya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras  adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar  ini.” [16]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi  pengaduan tentang imam yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian  mereka terlambat, beliau marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia,  dan menyuruh meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan  shalatnya).[17]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi was allam melihat  dahak di kiblat masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda,  “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka  Allah Azza wa Jalla ada di depan wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan  sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
"Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha" [19].
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar  ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah ,  mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Kami  pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada satu  peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang  Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata,  ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut.  Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian  jangan mendo’akan kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan  kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi  harta kalian. Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut  permintaan diajukan, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan bagi  kalian.”[20]
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah  akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada  saat marah ia dilarang berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan  hartanya.
Seorang ulama Salaf  berkata, ”Orang yang marah jika  penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan  perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia  tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak  berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang  mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan  Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia,  aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya  manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk,  maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah  kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan  yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa  orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika  yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak,  dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di  dalamnya.[22]
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa  seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga  ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas  tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu,  engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu  atas dirimu sendiri.”[23]
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa  mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di  dalamnya terdapat kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai  Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan  suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut  dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan  istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga  kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.”  Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak  seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan  Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24]
 BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
 FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat meredam amarah.
Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun  XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.  Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.  0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu 'anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu 'anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.
________
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu 'anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu 'anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar c. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhuma.
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[22]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[23]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[24]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
[25]. Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.
Source: www.almanhaj.or.id 

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar