Laman

Senin, 04 Juli 2011

Memaknai Kesabaran



 



Seorang muslimah adalah seorang yang mengikat hati dan hidupnya untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan hakiki nan abadi berupa surga serta selamat dari kesengsaraan hakiki berupa adzab neraka. Hal tersebut ia buktikan dengan amalan-amalan yang nyata.

Dimulai dari pembenaran hatinya akan semua yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya yang diikuti dengan lisannya yang selalu basah dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beramar ma’ruf nahi munkar, lalu dibuktikan dengan amalan badan dan harta yang bisa disaksikan manusia yang mengenalnya.

Satu di antara sekian ikatan iman yang ada dalam pribadi seorang muslimah adalah pemaknaan mendalamnya nilai-nilai kesabaran. Seorang muslim yakin betul bahwa sabar adalah obat jitu dikala menghadapi musibah dan persoalan yang ada di depan mata. Bahkan dalam tinjauan yang lebih dalam bahwa sabar adalah sebuah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang setiap hamba akan mendapatkan pahala dari setiap kesabaran yang ia lakukan. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Maka bersabarlah dengan kesabaran yang baik.” (QS. Al Ma’arij: 5)

Kesabaran yang baik adalah tidak mengeluh dan tidak mengadukan musibah atau masalah yang dihadapi kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ketika ia berada di tengah manusia, mereka tidak mengetahui bahwa ia sedang dirundung musibah. (Tafsir Al Qurthuby)


Dari penjelasan inipun dapat diketahui bahwa seorang hamba yang mengadukan masalah dan musibah yang ia alami kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan kepada makhluk, hal itu tidak dianggap menghilangkan kesabaran, sebagaimana perkataaan Nabi Ya’qub (yang artinya):

Sesungguhnya aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku hanya kepada Allah.” (QS. Yusuf: 86)


Keutamaan Sabar

Di antara keutamaan yang akan diraih bagi orang yang bersabar adalah:

1. Mendapatkan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali (terjadi) atas izin dari Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya.” (QS. At Taghabun: 11)

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut:

Barangsiapa yang ditimpa suatu musibah dan ia mengetahui bahwa musibah tersebut terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan pahala serta menerima ketetapan takdir tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya dan menggantikan apa yang luput dari dunianya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar.

Syaikh Asy Syinqithy dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa hidayah yang akan diraih bagi orang yang bersabar bersifat umum, baik hidayah berupa ilmu maupun hidayah berupa amal. Bukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbingnya tampak dari ucapan lisannya dengan beristirja’ (yang artinya):

“Sesungguhnya kami hanya milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali.” (QS. Al Baqarah: 156)


2. Digugurkan dosa dan ditinggikan derajat

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Tidak ada sebuah duripun dan yang lebih dari itu yang menimpa seorang muslim, kecuali dengannya dosa dan kesalahannya akan digugurkan sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)


3. Mendapatkan pahala tanpa batas

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala tak terhingga bagi orang yang sabar, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)


Empat tingkatan seorang muslim dalam menghadapi musibah

Walaupun sedemikian banyak keutamaan yang diraih bagi orang yang mau bersabar, namun dalam kenyataannya tidak semua orang memiliki sikap yang sama dalam menghadapi musibah dan persoalan yang dihadapinya.

Dalam kitab Tazkiyatun Nufus, para ulama membagi mereka dalam empat golongan:

1. Mereka yang membencinya

Golongan manusia seperti ini, ketika ditimpa musibah dan persoalan hidup dia akan memberontak, hatinya gelisah tak karuan, lisannya dipenuhi dengan gerutuan dan cenderung menyalahkan pihak lain yang terlibat dalam persoalan yang dia hadapi. Lebih parahnya, ia berburuk sangka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menakdirkan musibah dan masalah yang ia hadapi. Tak jarang pula diikuti dengan sikap anarkis dan cenderung mengadakan kerusakan secara pisik. Sikap seperti ini jelas haram dan setiap muslim wajib menjauhinya.


2. Mereka yang bersabar

Maksudnya mereka menahan gejolak jiwa dan lisannya agar tidak menolak ketetapan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa musibah dan persoalan yang dihadapinya, walaupun rasa berat dalam memikul musibah tersebut masih dirasakan. Yang ia pahami, bahwa sabar tidak menolak takdir dan tidak menggerutu, harus dia lakukan karena dorongan imannya.


3. Mereka yang ridha

Golongan manusia yang ketiga ini lebih tinggi tingkatannya dari golongan kedua (sabar), karena musibah yang ia terima ia biarkan mengalir begitu saja masuk ke dalam hatinya tanpa ada beban sedikitpun dalam memikulnya.


4. Mereka yang bersyukur

Ini adalah tingkatan yang tertinggi dalam tingkatan iman seseorang dalam menghadapi musibah dan persoalan hidup, dimana ia mampu melihat rahasia yang ada di baliknya, dengan sudut pandang yang begitu positif, ketika ia meyakini bahwa tidak ada satu musibah yang menimpa, kecuali pasti dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya dan meninggikan derajatnya dan hal itu patut disyukuri. Bagaimana kok musibah bisa melahirkan rasa syukur? Jawabannya yaitu bukankah terhapusnya dosa dan ketinggian derajat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebuah kebaikan dan kenikmatan yang besar bagi seorang hamba yang wajib ia syukuri?


Musibah adalah bukti kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya

Ketahuilah, sesungguhnya jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai suatu kaum, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengujinya. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Jika ia ridha, maka Allahpun ridha kepadanya, sebaliknya jika ia membencinya, maka Allahpun membencinya.” (HR. At Tirmidzi)

Jika seorang hamba yang beriman bisa melihat musibah dari sisi ini, maka hal itu akan membawanya kepada sikap senantiasa berhusnuzh zhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena telah memilihnya untuk mendapatkan musibah sebagai perwujudan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya. Oleh karenanya, seorang muslim dalam tiap keadaannya selalu berada dalam keadaan yang baik, yang jauh dari menzhalimi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak dirinya dan hak orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, karena semua urusannya adalah baik, yang itu tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. (Yaitu) ketika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, maka itu kebaikan baginya dan jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar maka itu kebaikan baginya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)



Sumber rujukan:

Tazkiyatun Nufus, karya Ibnul Qayyim Al Jauzy, Ibnu Rajab Al Hanbaly, Imam Al Ghazaly;
Riyadhus Shalihin, karya Imam An Nawawy;
Tafsir Ibnu Katsir;
Tafsir Al Qurthuby;
Adhwa’ul Bayan, karya Syaikh Asy Syinqithy
[Dinukil dari Buletin An-Najiyah, Edisi 05 / Dzulhijjah/ Tahun I /1430 H]
________________________________
* Beliau adalah salah satu pengajar di Ma’had An Najiyah Al Islami Bandung. Beliau merupakan salah satu da’i Ahlus Sunnah di Bandung yang begitu semangat menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah di Bandung dan Sumedang. Semoga Allah menjaga beliau dan keluarga serta membalas segala kebaikan beliau dengan pahala yang berlimpah. Amin


Disalin dari: http://salafiyunpad.wordpress.com/2010/02/13/memaknai-kesabaran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar