Laman

Senin, 14 November 2011

Agar si Buah Hati Menjadi Percaya Diri



Para pakar menilai, percaya diri adalah faktor penting yang menjadi penentu seseorang akan sukses atau gagal. Karenanya, para pakar psikologis banyak mengemukakan teknik-teknik membangkitkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri tidak didapatkan begitu saja, melainkan ia harus diasah dan dipupuk sejak kecil.

Sejak usia dua tahun, anak mulai menentukan sikapnya terhadap lingkungan di sekelilingnya. Beberapa psikolog perkembangan berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu sense pertama yang masuk ke dalam penentuan-penentuan sikap tersebut. Kemudian kekuatan perasaan percaya diri yang mulai terbentuk pada usia tersebut sangat bergantung pada perhatian yang diterima sang anak dan sikap orangtua dalam memenuhi kebutuhannya.

Pada fase tersebut, anak menunjukkan sinyal-sinyal perkembangan dengan menampakkan hasrat independensinya; memiliki kebebasan berbicara, berjalan, dan bermain. Semua hal itu berhubungan dengan kebutuhan untuk menegaskan dirinya yang hanya bisa diwujudkan dengan memperkenankannya mengambil langkah-langkah independensi. Hal tersebut juga ditegaskan teori perkembangan yang menyatakan bahwa kita harus menghormati kepribadian anak-anak, membiarkan mereka untuk berkembang secara alamiah.
…Tak sedikit anak yang tumbuh dewasa tanpa memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sehingga mereka tak mampu mengandalkan diri dalam urusan apa pun…
Tak sedikit anak-anak yang tumbuh dewasa dengan tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga mereka tidak mampu mengandalkan diri mereka sendiri dalam urusan apa pun, baik yang besar maupun kecil. Mereka tidak bisa mengambil inisiatif dan selalu menunggu seseorang berkata, “Lakukanlah hal ini dan itu.” Jika menghadapi masalah, tak sedikit anak perempuan yang tidak mampu mengambil keputusan, cenderung menjauhi masalah, dan hanya bisa menangis. Bisa jadi hal demikian merupakan kesalahan para orangtua, disebabkan beberapa hal:

1.  Orangtua terlalu berlebihan dalam mengawasi dan membatasi, baik dalam persoalan besar maupun kecil; seringkali mengucapkan, “Jangan melakukan itu, jangan melakukan ini.” Sehingga anak kehilangan spontanitas dan kepercayaan diri dalam bertindak. Maka jangan heran jika kemudian dia lebih banyak menunggu seseorang untuk mengoreksinya dan menjamin bahwa dirinya melakukan hal yang tepat.

2.  Selalu menyalahkan dan mengkritisi apa pun yang dilakukan oleh anak-anak, mencari-cari kesalahan mereka, dan memarahinya jika melakukan kesalahan-kecil yang tidak berarti. Maksudnya, anak-anak lebih banyak dimarahi daripada diberi pujian atas berbagai usaha yang dilakukannya. Sikap demikian justru akan menghancurkan motivasi anak-anak untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang baik.

3.  Tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk berbicara di hadapan orang lain, ditakutkan mereka akan melakukan kesalahan atau berbicara tentang hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk juga apabila memperkenankan mereka untuk berbicara, setelah terlebih dulu memberitahu mereka apa-apa saja yang boleh dibicarakan.

4.  Selalu memberi peringatan kepada anak-anak tentang bahaya dari sesuatu hal, sehingga membuat mereka senantiasa membayangkan hal-hal buruk dan menyayangkan bahwa mereka dikelilingi segala marabahaya.

5.  Senantiasa menganggap remeh mereka dan membanding-bandingkan mereka dengan orang lain. Kedua hal tersebut membuat mereka berpikir bahwa mereka tidak bernilai sama sekali.

6.  Menjadikan mereka sebagai objek candaan, dan mengejek mereka.

7.  Tidak memperhatikan permintaan-permintaan mereka.

8.  Orangtua terlalu banyak memberi perhatian kepada mereka dengan sikap yang menunjukkan kekhawatiran tentang –misalnya– kesehatan, masa depan mereka, dan lain-lainnya. 



[ganna pryadha/voa-islam.com]
 Dilansir dari Tansyi`at Al-Fatat Al-Muslimah, karya Hanan ‘Atiyah Al-Juhani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar