Laman

Senin, 21 November 2011

Menunda Kebaikan



Setiap jiwa akan sangat paham, bahwa kebaikan adalah modal utama menuju sebuah kenikmatan hidup. Dengannya kita memperoleh kedamaian duniawi dan terjauh dari kegalauan hari. Kebaikan juga menumbuhkan harapan yang berarti menambah rasa betah hidup didunia walaupun kadang kala keadaan tak selalunya enak. Tapi bagi sebagian orang, kepahaman itu tak sejalan dengan perealisasian dari sikap mereka.

 Tuntutan kebaikan yang ingin didapatkannya, tidak diwujudkan kecuali hanya dengan sedikit sikap. Beberapa contoh dibawah ini adalah sikap yang sering kali akrab atau kita akrabi yang sayangnya Hal inilah yang akhirnya menghambat jalan kebaikan itu untuk cepat mendatangi dan memulyakan kita.

Malas berarti menunda percepatan sukses atas keberhasilan hidup kita. Seperti halnya sebuah kesuksesan yang butuh sebuah proses, pengkreasian sebuah kegagalan pun membutuhkan proses. Dan proses tercepat untuk mencapainya adalah dengan berlaku malas. Tanpa usaha apapun, dengan malas orang sudah cukup dinilai sebagai lemah. Dengan malas, orang sudah cukup berusaha maksimal untuk merendahkan diri mereka sendiri dihadapan orang lain dan pada jiwa mereka sendiri.

Marah adalah menunda proses kelembutan melingkupi hati dan jiwa kita. Marah menjauhkan rahmat kasih sayang sesama atas kita. apakah marah itu dilarang? Rasa marah itu tidak bisa dihapus dari seorang manusia, karena Allah yang mengilhamkannya kepada kita. Tapi kemudian Yang tidak disukai oleh Allah adalah ketika kita memutuskan bahwa rasa marah itu kemudian yang mengkerdilkan hidup dan kualitas diri kita dan orang lain disekitar kita. Hal itu dengan kata lain adalah semakin merentangkan jarak kita dengan buah kesuksesan.

Ketidaksabaran menunda perbaikan diri dan masa depan kita. Banyak orang merasa telah berdoa tapi banyak diantara mereka juga memaki tuhan atas ketidaksabaran tentang terealisasinya doa tersebut. Padahal mereka tidak sadar, secara tidak langsung, tingkah polah mereka telah membatalkan rahmat dari sebuah doa yang telah terpanjat. Ketidaksabaran adalah downpaymen dari sebuah kegagalan. Betapapun seseorang menganggunkan dirinya tentang tingkah laku dan masa depannya, namun jika dia tidak mendidik diri untuk sabar, maka akan sia- sialah semua usaha, karena kekacauan pasti tidak pernah absen dari dirinya.

Tidak damai menjauhkan kita dari kesyukuran hidup. Orang yang senantiasa meliarkan batinnya dan atau membiarkan batinnya begitu liar dan terus terinspirasi dengan sebuah kekurangan, lambat laun dia akan menghentikan kecepatan dirinya untuk tumbuh menjadi lebih baik. Damainya jiwa adalah kekayaan kita yang pertama. Jiwa yang damai adalah kekayaan yang utuh, yang menjadi sandaran bagi semua kekayaan.

 Kedamaian jiwa menempatkan kita untuk tidak harus memenuhi semua aturan kekayaan yang dipantaskan oleh orang lain untuk diri mereka. Kedamaian jiwa menjadikan diri kita cukup untuk diri sendiri,dan apa pun yang akan dilakukan setelahnya adalah untuk kebaikan orang lain. Jika kita telah berjasa membaikkan kehidupan orang lain, maka dengan sendirinya kebaikan akan terpelihara atas kita. Maka rugilah jiwa- jiwa yang gelisah, tidak bersyukur, dan selalu merasa kurang. Hidup yang sudah sulit akan terasa lebih berat bagi siapapun pelakunya.

Kita tidak akan memiliki kepintaran yang cukup untuk mengerti apapun skenario Allah tentang masa depan dan kebaikan apa yang akan ditakdirkan untuk kita. Tapi Allah telah telah memberi kewenangan dan energi kepada para hambanya untuk berupaya mengusahakan nasib mereka sendiri demi kebaikan mereka sendiri. jika kita percaya bahwa takdir bisa dirubah dengan sebuah usaha, lalu mengapa kita tidak mengusahakan yang terbaik yang kita bisa.

 Hadiah dari kita melakukan kebaikan adalah kebaikan, dan Keburukan yang menjadikan kita baik adalah kebaikan. Maka tidak akan ada celah lagi bagi kita, jika kita ingin memperbaiki hidup, maka berlakulah baik, jadilah pribadi yang baik, dan kebaikan itu akan senantiasa memulyakan anda.



(Syahidah/Voa-islam.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar