وَاتَّقُوا يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
(البقرة:281)
“ Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak didzalimi.” (Al Baqarah : 281)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
قوله تعالى: { واتقوا يوماً } أي اتقوا عذاب يوم؛ أي احذروه؛ والمراد به يوم القيامة؛ لقوله تعالى: { ترجعون فيه إلى الله }؛ وعلى هذا تكون { يوماً {منصوبة على المفعولية؛ لأن الفعل وقع عليها – لا فيها.
Firman-Nya : “ Dan bertaqwalah pada suatu hari” yaitu takutlah dari adzab suatu hari yaitu berhati-hatilah darinya. Maksud hari disini adalah hari kiamat. Berdasarkan firman-Nya “yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah” . Oleh karena itu kata “ yauman” dalam ayat ini manshub sebagaimaf’ul bih karena merupakan sasaran langsung dari perbuatan, bukan maf’ul fiih
قوله تعالى: { ترجعون } صفة لـ { يوماً }؛ لأنه نكرة؛ والجمل بعد النكرات صفات؛ وهي بضم التاء، وفتح الجيم على أنه مبني لما لم يسم فاعله؛ وفي قراءة بفتح التاء، وكسر الجيم على أنه مبني للفاعل.
Firman-Nya : “ kalian dikembalikan (turjauna)” merupakan shifat bagi kata “yauman” karena kata yauman adalah isim nakirah. Sedangkan jumlah yang terletak setelah isim nakirah adalah shifat. Kata“turjauna” dengan mendhammahkan ta’ dan mamfathahkan jim merupakan fi’il bina’ majhul (kata pasif) yang tidak disebutkan fa’il (pelaku)nya. Sedangkan dalam qira’ah lain, huruf ta’ nya difathah dan huruf jim dikasrah, ini merupakan fi’il bina’ ma’lum (kata aktif) yang disebutkan fa’ilnya.
قوله تعالى: { ثم توفى كل نفس } أي تعطى؛ والتوفية بمعنى الاستيفاء؛ وهو أخذ الحق ممن هو عليه؛ فـ { توفى كل نفس } أي تعطى ثوابها، وأجرها المكتوب لها – إن كان عملها صالحاً؛ أو تعطى العقاب على عملها – إن كان عملها سيئاً.
Firman-Nya : “Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya” yaitu diberi (balasan). At Tawaffiyah maknanya Al Istiifaa yaitu pengambilan hak oleh orang yang berhak. Maka maksud setiap diri akan disempurnakan disini adalah akan diberi pahala dan ganjaran yang memang telah dicatat untuknya jika dia berbuat amal shalih. Atau akan diberi hukuman atas amal perbuatannya jika dia berbuat kejelekan.
قوله تعالى: { ما كسبت } أي ما حصلت عليه من ثواب الحسنات، وعقوبة السيئات.
Firman-Nya : “terhadap apa yang telah dikerjakannya” yaitu dia akan mendapatkan pahala atas kebaikannya atau hukuman atas kejelekannya.
قوله تعالى: { وهم لا يظلمون } جملة استئنافية؛ ويحتمل أن تكون جملة حالية؛ لكن الأول أظهر؛ والمعنى: لا ينقصون شيئاً من ثواب الحسنات،ولا يزاد عليهم شيئاً من عقوبة السيئات.
Firman-Nya : “sedang mereka sedikit pun tidak didzalimi.” Adalah jumlah isti’nafiyyah atau jumlah haaliyah. Namun yang lebih nampak adalah sebagai jumlah isti’nafiyyah. Maknanya yaitu tidak dikurangi pahala kebaikan mereka sedikitpun juga dan tidak ditambahkan hukuman perbuatan jelek atas mereka sedikitpun juga.
الفوائد:
Faedah-faedah ayat ini
1 – من فوائد الآية: وجوب اتقاء هذا اليوم الذي هو يوم القيامة؛ لقوله تعالى: { واتقوا يوماً ترجعون فيه إلى الله }؛ واتقاؤه يكون بفعل أوامر الله، واجتناب نواهيه.
Kewajiban untuk bertaqwa (menjaga diri) dari adzab hari ini yaitu hari kiamat. Berdasarkan firman-Nya “Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah” Maka menjaga diri dari adzab hari kiamat dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2 – ومنها: أن التقوى قد تضاف لغير الله – لكن إذا لم تكن على وجه العبادة؛ فيقال: اتق فلاناً، أو: اتق كذا؛ وهذا في القرآن والسنة كثير؛ قال الله سبحانه وتعالى: {واتقوا الله لعلكم تفلحون * واتقوا النار التي أعدت للكافرين} [آل عمران: 130، 131] ؛
Sesungguhnya kata taqwa terkadang disandarkan untuk selain Allah, jika statusnya bukan ibadah. Maka dikatakan : bertakwalah dari si fulan atau bertaqwalah dari demikian. Sesungguhnya di dalam AL Qur’an dan As Sunnah banyak terdapat penyandaran kata taqwa kepada selain Allah. Misalnya : Allah ta’alaberfirman :
“ Dan bertaqwalah kalian kepada Allah niscaya kalian beruntung. Bertaqwalah kalian dari api neraka yang telah disiapkan untuk orang-orang kafir.” (Al Imran : 130,131)
لكن فرق بين التقويين؛ التقوى الأولى تقوى عبادة، وتذلل، وخضوع؛ والثانية تقوى وقاية فقط: يأخذ ما يتقي به عذاب هذا اليوم، أو عذاب النار؛ وفي السنة قال النبي صلى الله عليه وسلم: «اتق دعوة المظلوم»(194)؛ فأضاف «التقوى» هنا إلى «دعوة المظلوم» ؛ واشتهر بين الناس: اتق شر من أحسنت إليه؛ لكن هذه التقوى المضافة إلى المخلوق ليست تقوى العبادة الخاصة بالله عز وجل؛ بل هي بمعنى الحذر.
Namun terdapat perbedaan makna taqwa dalam dua ayat diatas :
Taqwa yang pertama merupakan taqwa ibadah, perendahan diri dan ketundukan. Sedangkan taqwa yang kedua maknanya menjaga diri saja. Maka dia dia mengambil sesuatu untuk menjaga dirinya dari adzab hari ini (hari kiamat), atau adzab neraka.
Di dalam As Sunnah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Bertaqwalah dari do’anya orang yang terdzalimi.” Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyandarkan kata taqwa kepada do’a orang yang terdzalimi. Dan telah menyebar dikalangan banyak orang : “ bertaqwalah (waspadalah) dari kejahatan orang yang engkau telah berbuat baik kepadanya.”
Akan tetapi taqwa yang disandarkan kepada makhluk disini bukanlah taqwa ibadah yang hanya khusus ditujukan untuk Allah ta’ala, namun makna taqwa disini adalah berhati-hatilah atau waspadalah.
3 – ومن فوائد الآية: إثبات البعث؛ لقوله تعالى: {ترجعون فيه إلى الله} .
Penetapan adanya hari kebangkitan, berdasarkan firman-Nya “hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah”
4 – ومنها: أن مرجع الخلائق كلها إلى الله حكماً، وتقديراً، وجزاءً؛ فالمرجع كله إلى الله سبحانه وتعالى، كما قال تعالى: {وأن إلى ربك المنتهى} [النجم: 42] ، وقال تعالى: {إن إلى ربك الرجعى} [العلق: 8] ، أي في كل شيء.
Sesungguhnya tempat kembali semua makhluk adalah kepada Allah ta’ala baik berupa hukum, takdir atau balasan. Semuanya kembali kepada Allah ta’ala. Sebagaimana firman-Nya : “ Dan bahwasanya kepada Rabbmu kesudahan (segala sesuatu).” (An Najm : 42) dan firman-Nya : “ Sesungguhnya hanya kepada Rabbmu kembalimu.” (Al Alaq : 08 ) yaitu dalam segala sesuatu.
5 – ومنها: إثبات قدرة الله عز وجل؛ وذلك بالبعث؛ فإن الله سبحانه وتعالى يبعث الخلائق بعد أن كانوا رميماً، وتراباً.
Penetapan kemampuan (qudrah) Allah azza wa jalla. Karena Allah ta’ala mampu membangkitkan semua makhluknya setelah mereka menjadi abu dan debu.
6 – ومنها: الرد على الجبرية؛ لقوله تعالى: { واتقوا يوماً }؛ لأن توجيه الأمر إلى العبد إذا كان مجبراً من تكليف ما لا يطاق.
Bantahan terhadap kelompok Jabriyyah, berdasarkan firman-Nya “ Dan berhati-hatilah terhadap adzab suatu hari (hari kiamat)”. Karena perintah tersebut ditujukan kepada hamba. Seandainya mereka dipaksa, maka ini termasuk beban syariat yang tidak dia mampui.
7 – ومنها: أن الإنسان لا يوفى يوم القيامة إلا عمله؛ لقوله تعالى: { ثم توفى كل نفس ما كسبت }؛ واستدل بعض العلماء على أنه لا يجوز إهداء القرب من الإنسان إلى غيره؛ أي أنك لو عملت عملاً صالحاً لشخص معين؛ فإن ذلك لا ينفعه، ولا يستفيد منه؛ لأن الله سبحانه وتعالى قال: { توفى كل نفس ما كسبت }؛ لا ما كسب غيرها؛ فما كسبه غيره فهو له؛
Sesungguhnya manusia tidaklah diberikan balasan pada hari kiamat kecuali dengan balasan yang sesuai dengan amal perbuatannya. Berdasarkan firman-Nya : “ Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya ”
Sebagian ulama’ berdalil dengan ayat ini bahwa tidak boleh bagi saudara dekat untuk memberikan hadiah berupa (amal)kepada saudaranya yang lain. Maksudnya jika engkau melakukan amalan shalih ditujukan untuk orang tertentu maka amalan tersebut tidak bermanfaat baginya dan orang tersebut tidak dapat mengambil manfaat dari amalan engkau. Karena Allah ta’ala berfirman : “ Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya ” bukan apa yang diusahakan dan dikerjakan orang lain. Maka apa yang dikerjakan oleh orang lain ya menjadi miliknya sendiri.
واستثني من ذلك ما دلت السنة على الانتفاع به من الغير كالصوم؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه»(195)؛ والحج؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم للمرأة التي استفتته أن تحج عن أبيها وكان شيخاً كبيراً لا يثبت على الراحلة قالت: أفأحج عنه قال: «نعم»(196)؛ وكذلك المرأة التي استفتته أن تحج عن أمها التي نذرت أن تحج، ولم تحج حتى ماتت قالت: أفأحج عنها قال صلى الله عليه وسلم: «نعم»(197)؛ وكذلك الصدقة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم لمن استفتاه أن يتصدق عن أمه: «نعم»(198)؛ وأذن لسعد بن عبادة أن يتصدق بمخرافه عن أمه(199)؛
Dikecualikan dari perkara ini, yaitu apa yang telah ditunjukkan oleh As Sunnah bahwa ada perkara ibadah yang seseorang itu bisa memperolah manfaat dari orang lain. Diantaranya
1. Puasa
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“ Barangsiapa yang meninggal dunia dan dia masih memiliki tanggungan puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim
2. Haji
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada seorang wanita yang meminta fatwa kepada beliau untuk menghajikan bapaknya yang telah berusia tua dan tidak mampu untuk pergi haji. Wanita itu berkata : Apakah aku haji untuk bapakku ? Nabi menjawab “ Ya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian juga seorang wanita yang meminta fatwa kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghajikan ibunya yang telah bernadzar untuk naik haji, dan ibunya tersebut belum sempat naik haji sampai dia meninggal dunia. Wanita itu berkata : Apakah aku haji untuknya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “ Ya” (HR. Bukhari).
3. Shadaqah
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang meminta fatwa kepadanya bahwa dia akan bershadaqah untuk ibunya. Nabi menjawab “ Ya”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga mengizinkan Sa’ad bin Ubadah untuk bershadaqah untuk ibunya.
وأما الدعاء للغير إذا كان المدعو له مسلماً فإنه ينتفع به بالنص، والإجماع؛ أما النص ففي الكتاب، والسنة؛ أما الكتاب ففي قوله تعالى: {والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان} [الحشر: 10] ؛ وأما السنة ففي قوله صلى الله عليه وسلم: «ما من رجل مسلم يموت فيقوم على جنازته أربعون رجلاً لا يشركون بالله شيئاً إلا شفعهم الله فيه»(200)، وكان صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه، وقال: «استغفروا لأخيكم، واسألوا له التثبيت؛ فإنه الآن يُسأل»(201)؛ وأما الإجماع: فإن المسلمين كلهم يصلون على الأموات، ويقولون في الصلاة: «اللهم اغفر له، وارحمه»؛ فهم مجمعون على أنه ينتفع بذلك.
Sedangkan perkara mendo’akan orang lain, jika orang yang dido’akan tersebut seorang muslim maka bermanfaat baginya berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma’.
Untuk nash dalam masalah ini ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, Allah ta’ala berfirman :
“ Dan (pula) orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka itu berkata; “Ya Rabb kami! Ampunilah kami dan saudara saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman . . .” (Al Hasyr : 10).
Sedangkan dari As Sunnah, ada dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“ Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal dunia, kemudian ada 40 orang yang menshalati jenazahnya dan mereka adalah orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah kecuali ada syafa’at Allah bagi orang yang meninggal itu.” (HR. Muslim).
Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai menguburkan mayit maka beliau berdiri dihadapannya, lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya :
“ Mintakanlah ampun dan ketetapan kepada Allah untuk saudara kalian, karena sesungguhnya dia sekarang ini sedangn ditanya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Sedangkan ijma’ : bahwasanya semua kaum muslimin melaksanakan shalat terhadap orang yang sudah meninggal. Mereka berdo’a dalam shalat : “ Ya Allah ampunilah dia dan rahmatilah dia.” Maka mereka semua bersepakat bahwa do’a itu bermanfaat bagi si mayit.
والخلاف في انتفاع الميت بالعمل الصالح من غيره فيما عدا ما جاءت به السنة معروف؛ وقد ذهب الإمام أحمد رحمه الله إلى أن أيّ قربة فعلها، وجعل ثوابها لميت مسلم قريب، أو بعيد نفعه ذلك؛ ومع هذا فالدعاء للميت أفضل من إهداء القرب إليه؛ لأنه الذي أرشد إليه النبي صلى الله عليه وسلم في قوله: «إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له»(202)؛ ولم يذكر العمل مع أن الحديث في سياق العمل.
Sedangkan khilaf yang terjadi diantara para ulama’ tentang permasalahan apakah mayit dapat memperoleh manfaat dari amal shalih orang lain dalam perkara yang tidak terdapat di dalm As Sunnah sudah ma’ruf.
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa saudara dekat yang melakukan amal shalih dan dia menjadikan pahala amalannya tersebut untuk saudaranya muslim yang sudah meninggal , baik untuk saudara dekat maupun saudara jauh, amalan tersebut bermanfaat baginya. Namun demikian do’a untuk orang yang sudah meninggal tetap lebih utama daripada hadiah amal shalih tersebut. Karena inilah yang telah ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
“ Apabila manusia telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdo’a untuknya.” (HR. Muslim)
Nabi tidak menyebutkan hadiah berupa amal padahal hadits ini konteksnya berbicara tentang amal.
وأما ما استدل به المانعون من إهداء القرب من مثل قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 3] فإنه لا يدل على المنع؛ بل على أن سعي الإنسان ثابت له؛ وليس له من سعي غيره شيء إلا أن يجعل ذلك له؛ ونظير هذا أن تقول: «ليس لك إلا مالك»، فإنه لا يمنع أن يقبل ما تبرع به غيره من المال.
Sedangkan dalil yang digunakan oleh para ulama’ yang melarang memberikan hadiah amal adalah firman Allah ta’ala : “ Sesungguhnya manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah mereka usahakan.” (An Najm : 3). Ayat ini tidak menunjukkan larangan memberikan hadiah berupa amal kepada orang yang sudah meninggal. Namun menunjukkan bahwa usaha seseoranglah yang tetap untuknya dan tidak ada baginya usaha orang lain kecuali jika orang lain itu menjadikan usahanya untuk dia. Yang mirip dengan ayat ini adalah perkataan engkau “ Tidak ada harta bagimu kecuali apa yang engkau miliki “ Hal ini tidak menutup kemungkinan dia menerima harta dari orang lain.
وأما الاقتصار على ما ورد فيقال: إن ما وردت قضايا أعيان؛ لو كانت أقوالاً من الرسول صلى الله عليه وسلم قلنا: نعم، نتقيد بها؛ لكنها قضايا أعيان: جاءوا يسألون قالوا: فعلت كذا، قال: نعم، يجزئ؛ وهذا مما يدل على أن العمل الصالح من الغير يصل إلى من أُهدي له؛ لأننا لا ندري لو جاء رجل وقال: يا رسول الله، صليت ركعتين لأمي، أو لأبي، أو لأخي أفيجزئ ذلك عنه، أو يصل إليه ثوابه لا ندري ماذا يكون الجواب؛ ونتوقع أن يكون الجواب: «نعم»؛ أما لو كانت هذه أقوال بأن قال: «من تصدق لأمه أو لأبيه فإنه ينفعه»، أو ما أشبه ذلك لقلنا: إن هذا قول، ونقتصر عليه.
Sedangkan membatasi hanya untuk amalan yang terdapat dalilnya, maka dikatakan bahwa dalil yang ada itu terkait untuk menghukumi kasus individu. Oleh karena itu sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diterapkan namun hanya untuk kasus individu. Mereka datang dan bertanya : “ Aku melakukan demikian dan demikian “ Apakah boleh ? Nabi menjawab : Ya, boleh. Ini diantara hal yang menunjukkan bahwa amal shalih seseorang dapat sampai kepada orang lain yang dihadiahi amal tersebut. Karena kita tidak mengetahui seandainya ada orang yang datang dan bertanya : “ Wahai Rasulullah, aku shalat dua rakaat untuk ibuku atau abapakku atau saudaraku, apakah diperbolehkan ? Atau pahala shalat tersebut akan sampai ? Kita tidak mengetahui jawaban beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita diam dan tidak mengatakan bahwa jawaban Nabi “ Ya”. Sedangkan jika bunyi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : “ Barangsiapa yang bershadaqah untuk ibu atau bapaknya akan bermanfaat baginya.” Atau yang mirip dengan perkataan ini. Dapat kita katakan : Ini sabda Nabi dan kita mencukupkan diri dengannya.
8 – ومن فوائد الآية: أن الصغير يكتب له الثواب؛ وذلك لعموم قوله تعالى: { ثم توفى كل نفس }.
Sesungguhnya pahala anak kecil tetap tercatat, berdasarkan keumuman firman-Nya : “Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya”
فإن قال قائل: وهل يعاقب على السيئات.
فالجواب: «لا»؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «رفع القلم عن ثلاثة…» ، وذكر منها: «الصغير حتى يحتلم»(203)؛ ولأنه ليس له قصد تام لعدم رشده؛ فيشبه البالغ إذا أخطأ، أو نسي.
Jika ada orang yang berkata : Apakah anak yang masih kecil mendapatkan hukuman atas perbuatan jeleknya ?
Kita jawab : tidak, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Diangkat pena dari tiga orang . . . “ Nabi menyebutkan salah satunya “ dari anak kecil sampai dia bermimpi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud ,An Nasaa-i, dan Ibnu Majah)
Hal ini karena seorang anak kecil tidak memiliki niat dan tujuan karena tidak adanya ilmu yang sempurna padanya. Yang mirip dengan kasus ini adalah orang yang sudah baligh jika dia tersalah atau lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar