Laman

Kamis, 14 November 2013

Problema Anak Berbohong .....




Seorang ibu merasa kewalahan menghadapi puteranya yang berusia 9 tahun yang suka berbohong. 
Sang anak sering sekali berbohong bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. 
Ia berbohong tentang nilai ulangan hariannya,
 ia berbohong tentang siapa yang memecahkan pot bunga saat bermain bola,
 ia berbohong saat hendak pamit les, dan lain sebagainya. 


Sang ibu merasa sudah mengajarkan nilai kejujuran pada anaknya,
 bahkan sering memarahinya jika ketahuan bohong,
 tapi tidak nampak tanda-tanda anak ini mau berubah. Lalu, harus bagaimana?


Tidak diragukan lagi bahwa berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar kuat dalam diri seorang anak.


Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.”
(HR. Bukhari No. 6094, Muslim No. 2607)


Anak-anak memang tidak dilahirkan dengan kode moral. 
Moralitas adalah sesuatu yang dipelajari oleh seorang anak dalam tumbuh kembangnya secara bertahap dari tahun ke tahun. 
Dan perilaku berbohong adalah salah satu dari tahapan tersebut.


Dalam tumbuh kembangnya, anak-anak belajar tentang aturan-aturan sosial. 
Mereka belajar bahwa dalam kehidupan ini ada yang dinamakan khayalan, kebohongan, dan kenyataan. Dan umumnya, perilaku berbohong ini muncul dalam diri anak ketika ia mulai bisa bicara.


Rentang usia 4 sampai 9 tahun, anak-anak masih banyak hidup dengan khayalan-khayalan mereka. 
Mereka belum bisa membedakan yang mana khayalan dan mana kenyataan. 
Mereka sering beranggapan bahwa binatang bisa bicara layaknya manusia,
mereka mengira bahwa hantu dan monster itu benar-benar ada,
mereka yakin bahwa kartun-kartun animasi itu benar-benar hidup dan menjadi teman mereka. 
Dan sering kali mereka menempatkan diri mereka menjadi bagian dari khayalan tersebut.


Setelah usia 9 tahun, anak-anak mulai memahami aturan “tidak boleh berbohong”
Mereka mulai memahami bahwa sesuatu yang bukan sebenarnya itu berarti berbohong. 
Namun mereka masih memilah dan memilih, atau mempertimbangkan kapan mereka bisa berbohong atau tidak. 
Dalam artian, mereka belum benar-benar faham bahwa berbohong itu tercela. 
Karena ada kebutuhan lain yang lebih penting bagi mereka, yaitu kebutuhan untuk diterima dengan baik oleh suatu kelompok sosial tertentu.


Alasan Mengapa Anak Berbohong

Berikut ini ada beberapa alasan mengapa anak-anak berbohong :

1. Contoh yang salah dari orang tua

Anak-anak adalah peniru yang sangat baik. Mereka meniru segala hal yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk berbohong.

Ya, anak-anak belajar berbohong pertama kali dari orang tuanya. Disadari atau tidak, orang tua seringkali memberikan contoh yang salah dalam perilaku berbohong ini, sehingga anak-anak menirunya di kemudian hari.

Contoh kecil, saat seorang ibu ingin mengalihkan perhatian anakknya atau menghentikan tangis anaknya, ibu itu berkata, “Eh, lihat itu ada cicak!” atau “Eh, lihat ada pesawat terbang!”. Padahal sesungguhnya tidak ada cicak atau pesawat terbang disana.

Contoh lagi, saat ada tamu atau telpon, sedangkan ibu atau ayah sedang menghindari orang yang bertamu atau telpon tersebut, ibu akan mengatakan, “Bilang saja ibu nggak ada di rumah…”. Padahal ibu jelas-jelas ada di rumah.


Atau, saat hendak mengajarkan anak berpisah dari orang tua saat di sekolah, ibu berjanji pada anaknya yang belum mau ditinggal untuk menunggu di luar kelas. 
Tapi, ternyata setelah anak masuk, sang ibu pergi untuk pulang hingga datang kembali untuk menjemput sang anak.


Kita sebagai orang tua ada role model utama bagi anak-anak kita. Karena kitalah yang paling sering berada di dekat mereka. 
Jadi kita harus berhati-hati tentang masalah berbohong ini. Jika kita sering berbohong, maka jangan salahkan anak bila kelak mereka ikut berbohong.
 Namun, bila kita membiasakan anak untuk jujur sejak kecil, maka insyaallah anak-anak pun akan menjadi anak yang jujur dan mudah untuk diarahkan.


2. Anak terlalu sering dikritik, tetapi jarang diberi pujian

Sering kali kita terburu-buru mengecap anak kita berbohong, mencurigainya, mengkritiknya, padahal anak berkata jujur. 
Dan kita akan langsung memberikan label “pembohong” ketika anak pernah sekali berbohong pada kita. Sehingga pada akhirnya, anak pun mengambil kesimpulan bahwa “bohong atau jujur sama saja, ibu akan tetap bilang aku ini pembohong”.

Dan kita juga lebih sering mengeluarkan kalimat-kalimat negatif pada anak, alih-alih memberinya semangat dan dorongan untuk selalu berbuat baik. 
Kita lebih sering mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan anak, mengecilkan hati anak, memberikan julukan yang negatif, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari “kekerasan verbal” terhadap seorang anak.


Contohnya, kita masih sering terpatok pada “hasil akhir” dan bukannya “usaha” dari seorang anak. 
Kita akan mengkritik, “Hitungan mudah begini saja kamu nggak bisa” atau “sudah sering kamu diajari wudhu tapi masih saja nggak bisa wudhu yang benar!” dan yang semisal dengan itu.


Anak-anak yang terlalu sering mendapatkan kritikan dari orang tuanya, akhirnya menjadi haus pujian. Mereka akan melakukan segala cara untuk membuat orang tuanya mau memujinya. Salah satunya adalah berbohong. 
Dengan berbohong, mereka beranggapan bahwa mereka bisa menyelamatkan diri dari “omelan ibu” dan akan mendapatkan “pujian ibu”.


3. Bentuk pengalihan perhatian atau menghindari hukuman

Suatu ketika, saya pernah menegur keras putri saya yang baru berusia 3 tahun karena suatu hal. 
Saat saya memarahinya, putri saya tiba-tiba mengatakan pada saya, “Bunda, sakit perut…”. Dan akhirnya saya pun tidak marah lagi dan kemudian menyuruhnya untuk segera ke kamar mandi.
 Rupanya, putri saya ini merekam kejadian hari itu. Mungkin dalam benaknya, kalau bunda marah-marah aku bilang sakit perut, bunda jadi nggak marah. Dan esok harinya, saat saya menegurnya lagi karena hal yang lain, ia pun mengatakan hal yang sama, “Bunda, sakit perut…” padahal ternyata tidak keluar. Dan itu terjadi beberapa kali, sampai kemudian saya baru sadar bahwa “sakit perut” adalah alasan untuknya mengalihkan perhatian saya agar saya tidak marah-marah lagi.


Anak-anak yang masih kecil biasanya cenderung “tidak sengaja” berbohong. Dalam artian, mereka belum bisa memprediksi sebab-akibat. 
Jika kita menganggap jelas bahwa anak bermain bola dan memecahkan vas adalah suatu kesalahan, maka anak-anak tidak bisa berpikir demikian. Mereka hanya berpikir, “Aku main bola, dan aku ngga mecahin vas ibu. Bola yang mecahin vas ibu”. Dan itulah yang akan mereka katakan.


Anak-anak juga berbohong dengan menyalahkan orang lain atau hal lain untuk menyelamatkan diri dari hukuman. Contohnya, mereka menyalahkan kucing untuk pot bunga yang pecah saat mereka bermain di halaman, atau membuat alasan “kue ini buat kucing” saat ia kedapatan mengambil kue tanpa izin, dan lain sebagainya.


4. Ingin diterima oleh lingkungan dan teman-temannya

Pada anak-anak yang sudah lebih besar atau remaja, umumnya mereka berbohong untuk meningkatkan rasa percaya diri dan status sosialnya. 
Misalnya, mereka berbohong soal kekayaan keluarga, atau bersahabat dengan orang terkenal, dan lain sebagainya.
 Tujuannya adalah mereka ingin diterima oleh suatu komunitas sosial tertentu di kalangan teman-temannya. Mereka juga ingin dianggap “hebat” atau “keren” dan segala hal yang berbau pamor di kalangan para remaja. 
Terkadang, hal yang dimikian juga disebabkan karena anak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari teman-temannya, seperti dipermalukan atau diremehkan.


Kebohongan lain adalah bohong terhadap orang tua agar orang tua mau menerima teman-teman sepermainannya. 
Mereka biasanya berbohong dengan mengendalikan informasi, seperti memberikan alasan belajar bersama di rumah teman, padahal mereka pergi main ke mall atau ke tempat persewaan PS, dan lain sebagainya.


Mendidik Anak Agar Tidak Bohong

Setiap orang tua tentunya merasa sedih dan kecewa bila melihat dan mendengar anaknya berbohong. 
Dan tidak jarang kita langsung merasa panik dan buru-buru men-judge anak “kamu bohong” atau “kamu pembohong”.


Yang harus kita lakukan adalah memahami perilaku tersebut sebagai tahapan perkembangan anak dan mencari solusinya agar tidak menjadi kebiasan di kemudian hari.

Keteladanan dari orang tua

Menanamkan sikap jujur dan tidak suka berbohong adalah tugas orang tua dan pendidik. Namun, tentu saja tidak bisa hanya sekedar teori, melainkan dengan keteladanan. 
Berusahalah untuk bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan. Karena anak-anak melihat dan mencontoh apa yang mereka lihat dan mereka dengar.

Jika kita ingin mengalihkan perhatian anak dari tangisnya, alih-alih kita mengatakan “lihat itu ada cicak!” kita bisa menggantinya dengan kalimat ajakan, “yuk, kita cari cicak,” sambil mengajaknya keluar.

Orang tua juga tidak boleh berpura-pura akan memberikan sesuatu pada anak jika anak menurut. Misalnya, kita bilang, “ayo nurut sama ummi, nanti ummi belikan mainan” atau yang semisal dengan itu. Padahal itu hanya untuk memancingnya saja tanpa benar-benar akan memberikannya mainan bila ia sudah menurut.


Menanamkan kejujuran sejak dini

Sesungguhnya kejujuran itu sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Semakin dewasa usia seseorang, akan semakin sulit dan makin banyak godaannya untuk berbuat jujur. Padahal, kejujuran adalah salah satu kecerdasan moral. Dan untuk melatih kecerdasan moral seperti ini jauh lebih sulit dari pada melatih kecerdasan intelegensi.


Para psikolog dan pakar pendidikan anak banyak menilai bahwa orang tua masa kini jauh lebih bisa mencerdaskan intelegensi anak dari pada mencerdaskan moral anak. Bukan berarti terjadi kemerosotan moral di sini, melainkan orang tua merasa tidak percaya diri dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak. Sehingga kemudian, orang tua pun menyerahkan tugas tersebut pada sekolah atau guru anak-anak mereka. Padahal, sejatinya pendidikan moral adalah hal yang juga harus diberikan oleh orang tua, bersama dengan pendidikan agama.


Hindari memberi hukuman yang terlalu berat pada anak

Jika kita ingin memberikan anak hukuman karena kesalahannya, maka hukumlah dengan “adil”. Dalam artian, tidak setiap kesalahan anak harus mendapatkan hukuman yang berat. Lihat dan pertimbangkan seberapa berat kesalahan anak dan hukuman apa yang paling tepat untuknya.

Misalnya, anak menumpahkan air. Ini adalah perkara yang sepele sebenarnya. Bisa jadi anak tidak sengaja melakukannya. Maka berikan ia konsekuensi, untuk mengambil lap dan mengeringkan airnya dengan bantuan Anda.

Atau misalnya, anak tidak menabungkan uangnya dan malah menggunakan uang tersebut untuk membeli mobil-mobilan baru. Jangan langsung menghukumnya dengan memukul atau mengomelinya sepanjang hari. Tapi, nasehati anak dengan baik dan minta ia untuk tidak mengulanginya. Konsekuensinya, anak belajar untuk menabungkan sebagian uang jajannya sebagai ganti dari uang tabungan yang telah ia pakai kemarin.

Hukuman yang terlalu berat dan sering dapat menimbulkan rasa takut pada anak yang dapat mendorong anak untuk berbohong.


Hargai setiap usaha yang dilakukan anak

Sudah kodratnya anak-anak itu butuh pujian dari orang tuanya. Mereka butuh penghargaan dari setiap usaha baik yang mereka lakukan. Selaras dengan “teguran” yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan kesalahan.

Tentunya anak-anak akan bertanya-tanya, kalau aku salah aku selalu dimarahi, tapi kalau aku jadi anak baik, ibu dan ayah biasa saja.

Seorang anak lama-kelamaan akan merasa frustrasi dan jenuh ketika setiap usaha yang ia lakukan ia hanya mendapatkan kritikan pedas dari orang tuanya. Mereka akan merasa gagal, ditolak, tidak mampu, tidak percaya diri, dan rendah diri. Lebih-lebih jika orang tuanya membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya atau anak orang lain. Rasa frustrasi dan jenuh itulah yang juga bisa mendorong seorang anak untuk berbohong demi pengakuan.

Jika si kecil melakukan sesuatu, bahkan jika hasilnya kurang memuaskan, cobalah untuk mengatakan, “wah…subhanallah…kakak sudah pintar ya. Nanti kita buat lagi yang bagus supaya kakak bisa semangat lagi ya!”.

Penghargaan yang diterima oleh seorang anak anak menumbuhkan sikap menghargai orang lain di kemudian hari.


Hindari dan jauhkan anak dari tontonan atau cerita-cerita bohong
Sering memperdengarkan cerita-cerita bohong juga membuat anak-anak belajar berbohong. Karena sebagian besar anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan saja.

Dari mana anak mengenal monster dan hantu jika bukan dari buku cerita fiksi dan film di TV? Karena itu orang tua harus benar-benar selektif dalam memilihkan buku bacaan dan tontonan untuk anak.

Saat ini banyak sekali buku-buku dan film-film yang isinya hanya merusak moral anak-anak, atau memperlihatkan adegan kekerasan, kisah-kisah yang tak masuk akal dan membuat anak-anak takut.

Jelaskan pada anak-anak bahwa monster dan hantu itu tidak ada dan hanya rekaan manusia. Kalau perlu, apalagi di jaman teknologi yang sudah canggih ini, kepada anak-anak yang sudah lebih besar, kita bisa memperlihatkan bagaimana “efek” monster dan hantu itu dibuat dengan komputer.


Dengarkan anak saat mereka bicara

Mendengarkan keinginan anak bukan berarti harus mewujudkan setiap keinginannya. Akan tetapi, mendengarkan di sini adalah menunjukkan antusiasme dan perhatian kita bahwa kita menghargai apapun yang mereka katakan.

Jika ternyata apa yang mereka katakan itu bukan hal yang sesungguhnya terjadi atau hanya khayalan mereka, jangan buru-buru marah atau menudingnya sebagai pembohong. Tapi, luruskanlah, agar anak-anak memiliki pola pikir yang lurus pula.


Berikan kepercayaan pada anak

Akan tiba masanya anak-anak harus bisa melakukan banyak hal sendiri, tanpa bantuan dan pantauan orang tua. Apalagi ketika usia mereka beranjak remaja, tentulah mereka tak ingin terus menerus dibayangi atau terlalu diatur oleh orang tua.

Seiring dengan bertambahnya usia, bertambahnya tanggungjawab, bertambah pula keinginan seorang anak untuk dihargai sebagai seorang “anak yang sudah besar”. Mereka menginginkan tanggungjawab yang lebih besar pula, dan menginginkan kemandirian. Karena itu, sudah sepatutnya orang tua memberikan kepercayaan pada anak-anaknya.

Ajarkan anak-anak bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi, dan harus dipertanggungjawabkan. Tanamkan bahwa setiap tindakan mereka adalah cerminan bagaimana orang tua mereka mendidik mereka. Lalu berikan mereka kepercayaan.

Sesekali waktu, anak-anak mungkin melakukan kesalahan. Namun, bantulah mereka untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan percayakan bahwa mereka belajar dari kesalahan tersebut.

Dari pada mengatakan, “tuh, kan…ternyata kamu memang nggak bisa dipercaya”, lebih baik katakan, “oke…ummi ngerti kalau hari ini kamu salah. Sekarang kita cari penyelesaiannya sama-sama, dan ummi harap kamu tidak mengulanginya lagi.”

Anak-anak yang mendapatkan kepercayaan dan merasa dipercaya, pada akhirnya akan belajar untuk menjaga kepercayaan tersebut dan mau belajar untuk senantiasa jujur dalam perbuatan dan perkataan.


***


Muslimah.or.id
Penulis: Nisa Sabardin Ummu Alifah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Tidak ada komentar:

Posting Komentar