Oleh Ustadz Adni Kurniawan, Lc.
‘Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi berpaling sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari keduanya memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Ketahuilah, sesungguhnya mereka yang zuhud di dunia menjadikan bumi sebagai permadani, tanah sebagai kasur dan air sebagai minyak wangi.
Ingatlah, siapa saja yang merindui surga niscaya terhibur dan terlupakan dari syahwat; barangsiapa yang takut dengan neraka niscaya mundur dari hal-hal yang diharamkan; dan barangsiapa yang zuhud di dunia maka terasa ringan baginya segala musibah.” [Ar-Riqqah wal Bukā` fī Akhbār ash-Shālīhīn wa Shifātihim, Imam Ibn Qudāmah, hal. 31; Az-Zuhd, hal. 130; dan Al-Bayhaqi dalam Syu'ab Al-Īmān no. 9670]
‘Aun Ibn ‘Abdillah berkata, “Kedudukan dunia dan akhirat  dalam hati seseorang adalah bagaikan dua sisi timbangan. Jika salah  satunya sisinya menurun maka sisi lainnya terangkat.”
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita  menjadikan untuk dunia adalah sisa dari akhirat mereka. Namun sekarang  kalian justru menjadikan untuk akhirat kalian adalah sisa dari dunia  kalian.” [Shifah Ash-Shafwah, vol. III, hal. 101]
Dari Muhammad Ibn Abī ‘Imrān, ia mendengar Hātim al-Ashamm ditanya oleh seseorang, “Di atas apa engkau membangun segala urusanmu dalam hal tawakkal kepada Allah?” Hātim  menjawab, “Di atas empat perkara. (1) Aku tahu rizkiku tidak akan  dimakan oleh selainku, karena itu jiwaku pun tentram. (2) Aku tahu  amalanku tidak akan dilakukan oleh selainku, karena itu aku pun  tersibukkan dengannya. (3) Aku tahu kematian akan mendatangiku secara  tiba-tiba, karena itu aku pun bersegera untuk itu. (4) Aku tahu bahwa  aku tidak akan pernah terlepas dari penglihatan Allah di mana pun aku  berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” [Shifah ash-Shafwah, IV/161. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 21]
Yahya Ibn  Mu’ādz berkata, “Sungguh kasihan anak Adam, sekiranya saja ia takut  neraka sebagaimana ia takut kemiskinan niscaya ia akan masuk surga.” [Ihyā` 'Ulūm ad-Dīn, vol. IV, hal. 162. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 25]
Beliau juga berkata, “Wahai anak Adam, kau meminta dunia  dengan tuntutan orang-orang yang benar-benar butuh kepadanya. Namun kau  meminta akhirat dengan tuntutan orang-orang yang tidak membutuhkannya.  Padahal, apa yang kau dapatkan dari dunia sudah cukup meskipun kau tidak  memintanya, sementara akhirat akan kau dapatkan dengan menuntut dan  memintanya. Karena itu, sadarilah kondisimu.” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 93]
Fudhayl Ibn ‘Iyādh berkata, “Rasa takut seorang hamba  kepada Allah adalah sebesar tingkat keilmuannya terhadap Allah; dan  tingkatan zuhudnya terhadap dunia adalah sebesar hasratnya terhadap  akhirat.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 28]
Suatu ketika beliau ditanya, “Bagaimanakah keadaanmu?”  Fudhayl menjawab, “Keadaan mana yang engkau maksud? Keadaan dunia atau  keadaan akhirat? Jika engkau bertanya tentang keadaan dunia, maka dunia  telah condong bersama kami dan membawa kami kemana pun ia pergi. Dan  jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka bagaimanakah engkau  melihat keadaan orang yang telah banyak dosanya, lemah amalannya, fana  umurnya, belum memiliki bekal untuk hari kembali, belum siap menghadapi  kematian, serta belum tunduk, belum berusaha dengan sungguh-sungguh dan  berhias untuk kematian, namun justru berhias untuk dunia.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 37]
Abū Muslim al-Khaulāni berkata, “Sekiranya aku melihat  surga dengan mata kepala, maka aku tidak mempunyai bekal (untuk ke  sana); dan sekiranya aku melihat neraka dengan mata kepala, aku juga  tidak mempunyai bekal (untuk selamat darinya).” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 213; dan Siyar A'lām an-Nubalā`, vol. IV, hal. 9]
Disalin dari: Blog Ustadz Adni Kurniawan

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar