Oleh: Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Sebagian Salaf berkata, “Wahai manusia, engkau membutuhkan bagian dunia, tetapi terhadap akhirat engkau lebih membutuhkannya. Jika engkau memulainya dengan dunia, maka engkau telah mengabaikan akhirat, sedangkan duniamu ada dalam titik bahaya. Dan jika engkau memulainya dengan akhirat, maka engkau memperoleh duniamu, karena itu lakukanlah dengan baik.”[1]
Bagaimana seseorang dapat menikmati kehidupan sedangkan dia tahu
bahwa Ilah semua makhluk akan bertanya kepadanya.
Dia akan menyiksa karena kezhaliman seorang hamba,
dan akan membalasnya dengan pahala karena kebaikan yang ia lakukan.”[2]
Al-Hasan al-Bashri menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah, beliau berkata, “Amma ba’du: Dunia adalah sebuah perjalanan, bukan tempat menetap. Allah menurunkan Adam ke dunia sebagai balasan atas apa yang dia lakukan, maka berhati-hatilah wahai Amirul Mukminin, karena sesungguhnya bekal dunia adalah dengan meninggalkannya dan kekayaannya adalah kefakirannya.
Setiap saat ada yang terbunuh di dalamnya, terhinalah orang yang memuliakannya, dan fakirlah orang yang mengumpulkannya. Ia bagaikan racun mematikan yang diminum oleh orang yang tidak mengetahuinya, maka jadilah engkau seperti orang yang sedang mengobati luka, dia merasakan demam dalam waktu yang singkat karena merasa takut akan sesuatu yang menyakitkan dalam waktu yang lama dan bersabarlah menelan obat karena takut akan musibah yang berkepanjangan.
Berhati-hatilah terhadap alam yang menipu dan penuh dengan hayalan ini, sebuah alam yang dihiasi dengan tipuan, dilukiskan dengan sebuah angan-angan sehingga semua materi duniawi ini menjadi mulia bagaikan seorang pengantin yang cantik menawan. Semua mata dan hati memandang kepadanya dan jiwa pun merasakan kerinduan yang mendalam kepadanya, akan tetapi dia adalah seorang pembunuh yang membunuh suaminya.
Tidak ada seorang pun yang bisa mengambil pelajaran atas sesuatu yang telah berlalu darinya dan tidak ada seorang pun yang merasa takut atas apa yang menimpa orang sebelumnya. Tidak ada seorang pun yang mengenal Allah ketika hal itu disebutkan kepadanya sehingga dia mengingat-Nya.
Orang yang rindu akan dunia dengan mendapatkan kebutuhannya sehingga dia menjadi lupa dan lalai, dia disibukkan dengannya sehingga hampir saja kedua kakinya terpeleset, yang berakhir kepada sebuah penyesalan dan kerugian yang sangat besar. Dia keluar tanpa membawa bekal, lalu mempersembahkan sesuatu tanpa alas.
Berhati-hatilah wahai Amirul Mukminin! Jadilah engkau sebagai orang yang paling tertawan di dalamnya. Berhati-hatilah! Karena orang yang mendapatkan dunia, setiap kali dia menginginkan sebuah kesenangan, maka hanya sesuatu yang mereka bencilah yang didapatkan, kemegahan mengantarkannya kepada sebuah bencana, keabadian yang mereka harapkan hanyalah sebuah bayangan semu, kebahagiaan mereka teracuni oleh kesedihan, sesuatu yang pergi tidak akan bisa kembali, dan dia pun tidak akan tahu apa yang akan dia dapatkan. Angan-angannya adalah kebohongan, harapannya adalah kebathilan, kejernihannya adalah kekeruhan, kehidupannya adalah kesengsaraan, dan semua manusia hidup di dunia dalam keadaan yang membahayakan.
Nabimu, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawarkan kunci dan gudang harta dunia, akan tetapi beliau menolaknya, dia tidak mau mencintai sesuatu yang dibenci oleh Penciptanya atau memuliakan sesuatu yang dihinakan oleh Malik (Raja)nya. Dunia dihamparkan kepada orang-orang shalih sebagai cobaan bagi mereka dan dibentangkan kepada musuh-musuh Allah sebagai tipuan.
Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Musa Alaihissalam, ‘Jika engkau melihat kekayaan yang memihak, maka katakanlah, ‘Ini adalah sebuah dosa yang disegerakan,’ dan jika engkau melihat sebuah kefakiran, maka katakanlah, ‘Selamat datang syi’ar orang yang shalih.’ ”[3]
Saudaraku tercinta…
Seandainya engkau adalah pemimpin suatu kaum yang menuju,
duniamu yang penuh dengan kebohongan yang engkau ukir.
Niscaya aku akan mengatakan bahwa itu adalah sebuah bencana, tumbuhannya adalah kesengsaraan,
sedangkan airnya yang tawar adalah racun yang menjalar bagi seseorang.[4]
Saudaraku, dunia melipat dihadapamu sedangkan matahari akhirat sudah datang menghadap kepadamu, tetapi bagaimana keadaanmu sekarang ini?
Dan bagaimana engkau melihat masalah ini?
Marilah kita lihat bagaimana keadaan Salman Radhiyallahu ‘anhu menjelang wafatnya, ketika itu beliau menangis, lalu ditanyakan kepadanya, “Mengapa engkau menangis, padahal engkau adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Lalu beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak menangis karena menyesal akan dunia atau karena cinta akan dunia, aku menangis karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat janji dengan kami agar kehidupan kami hendaklah seperti seseorang yang ada dalam perjalanan, tetapi kami meninggalkannya.” Lalu diperlihatkan kepadanya harta yang ia tinggalkan dan ternyata sebanyak dua puluh dirham lebih atau tiga puluh dirham lebih.[5]
Dunia adalah fatamorgana yang terus memanjang dan merupakan malam yang gelap… pencari dunia bagaikan orang yang meminum air lautan, semakin banyak dia meminumnya, maka akan semakin haus.[6]
Dunia itu tidak memiliki batas dan tidak memiliki akhir, kecuali dengan sikap qana’ah dan ridha terhadap apa yang telah ditentukan oleh Allah Subahanhu wa Ta’ala dengan memanfaatkan siang dan malam hanya untuk taat kepada Allah Jalla wa’ala.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Ahli dunia keluar dari dunia akan tetapi mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Beliau ditanya, ‘Apakah itu?’ Beliau menjawab, ‘Mengenal Allah Ta’ala.’” [7]
Wahai saudaraku, lihatlah keadaan orang-orang shalih ketika sakaratul maut, kalian akan melihat sebuah keindahan dan kesejukan dalam jiwa-jiwa yang tenang, dan lihat pula keadaan yang jauh berbeda dengannya pada jiwa-jiwa orang yang memakan barang haram, berjalan di belakang materi duniawi beserta gemerlapnya.
Seorang hamba hanya bersedih sedang Rabb-lah Yang menentukan,
zaman selalu berputar dan rizki dibagikan.
Semua kebaikan ada dalam pilihan Sang Pencipta,
sedangkan pilihan selain-Nya hanyalah celaan.
Abud Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya bukan karena tiga hal, niscaya aku berharap untuk berada di dalam bumi, bukan di atasnya. Seandainya bukan karena saudara-saudara yang datang kepadaku untuk memilih kata-kata yang indah sebagaimana buah matang yang dipilih dan dipetik atau karena menjadikan wajahku berdebu karena sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau karena berjuang di jalan-Nya.”[8]
Inilah cinta yang jujur di jalan Allah dan inilah sikap yang tepat dalam menggunakan waktu. Demi Allah, itulah harapan yang baik dan indah.
Wahib bin al-Ward rahimahullah berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah sikapmu yang tidak merasa putus asa terhadap orang lain karena sesuatu yang tidak engkau dapatkan dan engkau tidak gembira dengan apa-apa yang engkau dapatkan dari dunia.”[9]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Fadhaa-iludz Dzikr, hal. 19, karya Ibnul Jauzi.
[2]. Syarhush Shuduur, hal. 295.
[3]. Iddatush Shaabiriin, hal. 331.
[4]. Mawaariduzh Zham-aan (I/640).
[5]. Adabud Dun-yaa wad Diin, hal. 119.
[6]. As-Siyar (V/263).
[7]. Madaarijus Saalikiin, hal. 233.
[8]. Az-Zuhd, hal. 198.
[9]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/140).
Disalin dari: www.almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar