Keadaan-keadaan hati digambarkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullohu ta’ala dengan sebuah perumpamaan yang sangat indah, yakni keadaannya seperti tiga buah rumah ;
1. Rumah milik raja, yang didalamnya terdapat harta simpanan yang melimpah serta perhiasan yang mulia.
2. Rumah milik budak, yang didalamnya tersimpan harta milik budak itu dan simpanannya, yang tentu saja tidak seperti harta benda milik sang raja.
3. Rumah yang kosong tidak ada isinya sedikitpun.
Pencuri datang untuk menjarah salah satu dari tiga rumah tersebut. Lalu rumah manakah yang akan menjadi sasarannya?
Jika engkau menjawab, “ia akan menggasak rumah kosong”, tentu tidak akan mungkin dan hanya akan sia-sia, sebab didalamnya tidak ada sesuatupun yang bisa dijarah.
Suatu ketika datang seseorang berkata kepada Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhu, “sesungguhnya orang-orang Yahudi beranggapan bahwa mereka tidak bisa diganggu oleh berbagai macam bisikan syeithan ketika shalat.”
Maka Ibnu Abbas mengomentari, “apakah yang bisa dilakukan syeithan terhadap hati yang sudah roboh?”
Kemudian, jika engkau berkata, “Dia akan menjarah rumah milik raja”, sepertinya juga mustahil dan terlalu sulit, karena disana ada para penjaga dan juga mata-mata yang selalu mengintai. Jangankan untuk menjarah, mendekatpun sudah sulit, karena para pengawal, tentara dan penjaga selalu siap.
Maka tidak ada pilihan lain bagi pencuri itu kecuali rumah yang satu lagi, yang ada kemungkinan baginya untuk memasukinya dan menjarah isinya.
Orang yang berpikir hendaknya menyimak permisalan ini dengan seksama lalu meresapinya didalam hati, karena gambaran tentang dirinya ada pada permisalan itu.
Hati yang kosong sama sekali dari kebaikan adalah hatinya orang-orang kafir dan munafik. Itu merupakan rumah Syeithan, tempat tinggal dan tempat bersemayamnya. Lalu apa yang bisa dicuri dari hati yang seperti itu, sementara tidak terdapat apapun didalamnya, yang ada hanyalah hayalan dan lintasan pikiran.
Ada hati yang diisi dengan pen-ta’dhiman kepada Allah Ta’ala, cinta, rasa malu dan takut kepada-Nya. Lalu syeithan manakah yang berani mendekati hati semacam ini? Kalaupun syeithan mencuri darinya, lalu apa yang bisa dicuri? Namun tetap saja syeithan akan mencari-cari kesempatan untuk menjarah dengan merampas dan menyambar ketika orang tersebut dalam keadaan lalai. Karena bagaimanapu ia juga manusia biasa yang bisa lalai, lupa, ada syahwat dan lain-lain.
Ada pula hati yang didalamnya ada tauhid kepada Allah Ta’ala, iman, ma’rifat, cinta kepada-Nya dan pembenaran terhadap janji-Nya, namun didalamnya juga ada syahwat, nafsu dan naluri. Hati yang ada diantara dua hal ini (Iman dan syahwat) terkadang condong kepada Iman, cinta dan pen-ta’dziman kepada Allah dan terkadang condong kepada hawa nafsu dan nalurinya. Maka hati yang semacam inilah yang menjadi incaran jarahan syeithan. Namun Allah tetap memberikan pertolongan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا النَّصْرُ إِلاَّ مِنْ عِندِ اللّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
”Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah yang maha Perkasa lagi maha Bijaksana.” [Ali-Imran:126]
Ketahuilah, bahwa syeithan tidak akan dapat berbuat banyak terhadap seorang hamba kecuali jika ia (syeithan) mendapatkan senjatanya. Dengan membawa senjata itu dia menyusup dan melumpuhkan hati seorang hamba. Senjata syeithan itu adalah syahwat, syubhat, hayalan, angan-angan yang kosong, yang semuanya ada didalam hati. Jika seorang hamba mempunyai iman yang dapat menyadari dan menghadang serangan syeithan itu, maka syeithan itu pasti akan kalah. Jika tidak, maka dia akan mudah dikuasi syeithan.
Jika seorang hamba memberikan peluang kepada musuh dan memberikan pintu baginya serta menyodorkan senjata kepada syeithan yang justru senjata itu akan digunakan untuk menguasai dirinya, berarti dia adalah yang bodoh dan tercela.
[Dinukil dari kitab Shohihul wabilus shoyyib minal kalimit Thayyib, karya Ibnu Qayyim]
Disalin dari: http://zuliyanti.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar